bid foka
Jantung luna berdegup kencang, seakan-akan dia bisa mendengar detaknya sendiri dengan jelas. Darah yang keluar tiba-tiba membuat pandangan mata luna samar. Luna menyambar handuk bayi yang terletak di sebelahnya.
Wanita berusia 21 tahun itu meletakkan handuk tepat di bawah jalan lahir rina. Darah yang berceceran membuat mentalnya jatuh. Luna menyentuh perut rina yang semakin melemah kontraksinya....
“ Tolong usap-usap lagi perutnya bu...” perintah luna kali ini pada ibunya rina yang berada tepat di samping rina. Untungnya mbah surti sekarang menjadi sangat kooperatif.
Luna memijit handphonenya berharap ada sinyal. Debar jantungnya kian meradang saja....Mbak sinta adalah kakak seniornya, 10 tahun lebih tua. Pertemuan mereka berawal di sebuah klinik bersalin yang dimilikinya. Luna dan teman-teman sesama kuliahnya ditempatkan di klinik mbak sinta untuk menimba ilmu praktek kebidanan. Karena berasal dari satu alumni, ikatan dan persahabatan mereka semakin kuat. Mbak sinta tidak segan-segan membagi ilmu yang dimilikinya pada mereka yang masih haus akan ilmu dan pengalaman. Luna sering meminta saran baik tentang ilmu kebidanan hingga minta dicarikan pacar yang sampai sekarang belum ditemukannya.
“ Halo...” suara dari seberang sana membuat luna terkejut sekaligus bersyukur.
“Ha...Hallo mbak...” buru luna. Hatinya teramat girang, seakan mendapat cahaya dari kegelapan yang amat sangat pekat.
“Iya, ada apa lun malam-malam telpon mbak...” suara mbak sinta serak. Mungkin baru bangun tidur, memang tidak wajar menelpon orang jam 2 pagi. Tapi kalau bukan hal yang sangat penting mustahil luna mau menelpon mbak sinta.
“Mbak, tolong saya...ada pasien yang baru saja bersalin.......”
“ Mbak nggak denger lun, suara kamu putus..putus...” luna bergeser menyudut di ruangan kamar, mata luna tidak berani memandang jalan lahir rina.
“Mbak pasien saya pendarahan baru melahirkan, darahnya keluar banyak mbak, tolong saya mbak..” bisik luna. Suaranya bergetar. Tiba-tiba luna merasa wajahnya semakin menua sepuluh tahun.
“Jangan panik luna, kamu harus tenang!!” Samar terdengar suara mbak sinta, namun masih bisa ditangkap wanita yang keringatnya mengucur deras itu.
“Lun, masih dengar mbak...” suara mbak sinta tiba-tiba terdengar jelas.
“Iya mbak...” jawab luna cepat.
“Kamu tenang luna, berdoa..perhatikan kontraksi perut ibu, kalau atonia....kamu masase terus, pasang infus segera...masukkan oksitosin untuk memperbaiki kontraksinya...”
“Iya mbak...”
“plasenta gimana?”
“ Sudah lahir mbak, lengkap!!”jawab luna terbata-bata..
“Bagus luna, berarti pendarahan terjadi mungkin akibat robekan jalan lahirnya, pasang tampon trus jahit...”
“luna nggak ngerti mbak....robekannya membingungkan...”
“Kamu pasti bisa luna, mbak yakin.....semangat ya...”
Tanpa mengucapkan terimakasih luna mematikan handphonenya. Secepatnya ia berseru
“Tolong carikan tali bu ...Saya akan menginfus ibunya....”
“Jangan di infus...” potong rina.
“Harus...” putus rina, yang sigap mengambil jarum abocathnya di dalam bidan kit, dan mempersiapkan selang infus serta cairannya.Tujuan luna hanya ingin berbuat sebaik-baiknya.,,agar ibu selamat dari bahaya yang sangat mengancam ini. Meski luna belum terlalu mahir memasang infus, tapi luna sudah pernah memasangnya, paling tidak secara teknik luna sudah mengetahuinya.
“Mbah surti tolong bantu saya gantungkan cairannya...” perintah luna sopan. Mbah surti tergopoh-gopoh menggantung cairan infus pada paku di dinding yang letaknya tepat di atas kepala rina. Meski sedikit gemetar tapi luna bisa menancapkan jarum infus di punggung tangan rina. Luna mengatur tetesan infus ibu muda itu sebelum beralih ke jalan lahirnya.
Luna mencari tampon yang memang sudah tersedia di dalam tasnya, tepatnya tampon itu dia ambil di ruang laboratorium kampusnya sewaktu ujian praktek dulu. Luna mengganti sarung tangannya. Meskipun takut, tapi luna harus menuntaskan semuanya ini. Segera dibukanya jalan lahir rina dan memasukkan tampon serta meninggalkan sedikit tali di jalan lahirnya. Darah dari jalan lahir luna terhenti sesaat, tapi darah menetes dari bekas luka robekan persalinan. Luna bingung dengan robekan yang tidak menentu bentuknya. Tapi luna masih mengingat dengan jelas anatomi alat kelamin luar wanita.
Luna bersiap untuk menjahit luka di jalan lahir luna tapi terhenti..
“ Saya tidak mau dijahit....” rina meronta, kaki kanannya dikibaskan sehingga darah mengucur kembali dari jalan lahir rina. Untung ada mbah surti yang ikut menahan kaki rina dan mengembalikannya pada posisi semula.
“bu bidan, saya tidak mau di jahit...” rina masih meronta lemah.
“Bu rina, kalau tidak dijahit nanti bisa pendarahan...” Luna mulai menjahit jalan lahir luna, jahitannya satu-satu, luna hanya berfikir untuk menghentikan perdarahan. Bayangan anatomi kelamin luar wanita menuntunnya. Luna meminta pada salah seorang ibu yang sedari tadi melihatnya untuk menerangi jalan lahir rina dengan senter. Luna meninggikan bokong rina agar mempermudah penjahitan.
“bu bidan...saya ngantuk...!!” luna melihat rina yang sedari tadi menguap panjang..
“tolong rin, jangan sampai tidur....saya mohon...” luna takut kalau rina tertidur bukan saja untuk sementara tapi tidur selamanya..
“bu..beri makan dan minum, ajak bicara...bawa bayinya ke ibunya...” tegas luna, luna tidak tau kepanikannya membuat orang di sekitarnya juga panik. Tapi untung ada mbah surti yang bisa menenangkan mereka..
Luna menyentuh perut luna yang sudah semakin mengeras sebelum menuntaskan jahitan terakhirnya. Luna menarik tampon yang sudah teramat basah dan tiba-tiba keluar semburan darah segar lagi. Tapi karena kontraksi rina sudah semakin membaik, luna tidak terlalu khawatir. Secara jujur luna menyadari jahitannya sangatlah tidak sempurna, tapi paling tidak perdarahan akibat robekan tidak lagi terjadi dan luna sudah memastikan vagina, dan rektumya dalam kondisi baik.
Luna dibantu mbah surti membereskan sisa-sisa darah di tubuh rina. Memakaikan rina baju yang bersih, memasangkan gurita dan meletakkan bayinya tepat disamping ibunya. Luna teguh menjaga rina sampai pagi, ada kekhawatiran akan munculnya pendarahan..pada saat 2 jam persalinan. Mbah surti juga bertahan untuk menunggui rina. Luna pun tidak mampu menahan ayahnya yang berkeras untuk tetap tinggal menunggu sampai luna pulang nanti.
“Terimakasih mbah surti...” luna mengucap tulus. Sementara mbah surti hanya tersenyum kaku.
Sebuah pengalaman yang tidak mungkin terlupakan sepanjang hidup luna. Peristiwa ini membuka matanya bahwa tugas seorang bidan bukanlah sesuatu yang mudah. Pangilan Bu Bidan mengingatkan luna terus akan tanggung jawabnya yang besar. Luna berjanji untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya sebelum terjun langsung secara profesional sebagai bidan. Luna ingin melatih keterampilannya dan sekaligus mengasah ilmunya dengan baik.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar