Sabtu, 17 November 2012

Penjelasan Tentang Seks Dalam Islam dari Rasulullah, Sahabat Dan Para Ulama

Ada beberapa hadis-hadis dan pendapat para ulama yang berisi panduan dari Rasulullah SAW , para sahabat dan para ulama tentang hubungan suami istri. Berikut ini beberapa di antaranya.
Hadis dari Rasulullah
Ada hadis yang menjelaskan bahwa dalam hubungan suami istri hendaknya dilakukan dengan pendahuluan terlebih dahulu, atau dalam bahasa sekarang istilahnya adalah 'foreplay'.
Sabda Rasulullah SAW:
"Janganlah antara kamu melakukan hubungan badan dengan isterinya seperti binatang. Sebaiknya mereka melakukan dua perkara terlebih dulu." Sahabat bertanya, apa dua perkara itu? Rasulullah menjawab "kecupan dan kata-kata mesra” (Hadis riwayat Dailami). 
Dalam hadis tersebut nampak bahwa ada hal tentang seks yang tidak difahami oleh sahabat, sehingga kemudian mereka bertanya lalu Rasulullah SAW menjelaskan.
Dari hadis ini dapat diambil pelajaran bahwa menjadi tanggung jawab bagi seorang pemimpin dan guru untuk menerangkan sesuatu yang kurang difahami dalam soal hubungan kelamin / seks, dan hal ini bukanlah sesuatu yang memalukan.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ :
كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ كِلَانَا جُنُبٌ وَكَانَ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ
صحيح البخاري (1/ 499)
Dari Aisyah berkata, "Aku dan Nabi SAW pernah mandi bersama dari satu wadah. Ketika itu kami berdua sedang junub. Baginda juga pernah memerintahkan aku memakaikan kain, lalu beliau mencumbuiku sedangkan aku sedang haid.” 
Dari hadis ini juga menjadi jelas bahwa bercumbu antara suami istri diperbolehkan dalam keadaan istri sedang haid.
Diskusi Para Sahabat
Para sahabat juga pernah membicarakan tentang hubungan seks suami isteri bila terdapat keadaan memerlukan, seperti riwayat di bawah ini:
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ:
إِنِّي مَصِصْتُ عَنْ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ فَقَالَ أَبُو مُوسَى فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ فَقَالَ أَبُو مُوسَى لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ
Dari Malik dari Yahya bin Sa'id berkata, "Seorang lelaki bertanya kepada Abu Musa Al Asy'ari; "Aku pernah menghisap payudara isteriku hingga air susunya masuk ke dalam perutku. Abu Musa menjawab; Menurutku isterimu setatusnya telah berubah menjadi mahrammu." Abdullah bin Mas'ud pun berkata; "Lihatlah (Bagaimana) kamu boleh berfatwa begini kepada lelaki ini?!" Abu Musa bertanya; "Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?" Abdullah bin Mas'ud berkata; "Tidak berlaku hukum penyusuan kecuali bila masih pada masa penyusuan. (sebelum bayi berumur 2 tahun sahaja)" Kemudian Abu Musa berkata; "Janganlah kamu semua menanyakan suatu perkara kepadaku selagi orang alim ini (Ibnu Mas'ud) masih berada bersama." 
Dari perbincangan para sahabat tersebut menjadi jelas bagaimana tentang perkara bercumbu suami istri yang menyebabkan air susu istri tertelan oleh suami.
Fatwa Imam Malik
Imam Malik juga pernah memberikan kuliah sebagai berikut:
وَقَالَ ) الْإِمَامُ ( مَالِكُ ) بْنُ أَنَسٍ ( لَا بَأْسَ بِالنَّخْرِ عِنْدَ الْجِمَاعِ  كشاف القناع عن متن الإقناع (17/ 409)
"Imam Malik berkata; Tidak mengapa desahan/mengerang panjang ketika berjimak (berhubungan suami istri) " (Kassyaf Al-Qina’'An Matni Al-Iqna, vol.18 ms 409) 
Perkara ini barangkali tidak ada di dalam hadis, namun demikian Imam Malik merasa perlu menjelaskannya kembali supaya tidak terjadi kebingungan di kalangan murid dan pengikutnya.
Penjelasan dari Imam Abu Hanifah 
Imam Abu Hanifah (Hanafi). As-Syarbini dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj mengambil riwayat dialog antara Abu Hanifah dengan muridnya Abu Yusuf;
سَأَلَ أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنْ مَسِّ الرَّجُلِ فَرْجَ زَوْجَتِهِ وَعَكْسِهِ ، فَقَالَ : لَا بَأْسَ بِهِ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ أَجْرُهُمَا
مغني المحتاج (12/ 68) 
"Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang lelaki yang saling sentuh menyentuh (untuk merangsang) kemaluan dengan isterinya. Abu Hanifah menjawab; Tidak mengapa, dan aku berharap pahala keduanya besar." (Mughni Al-Muhtaj, vol.12 ms 68) 
Sehebat-hebat Imam Hanafi, Imam Mazhab yang pertama, sebelum kedatangan Imam Malik dan Imam Syafie pun membincangkan soal seks dan menjadi catatan hingga sampai kepada kita. Peliknya ada seorang di akhir zaman menolak perbincangan ini.
Penjelasan dari Imam At-Thabari
Imam At-Thabari meriwayatkan;
عن ليث قال: تذاكرنا عند مجاهد الرجل يلاعب امرأته وهي حائض، قال: اطعن بذكرك حيث شئت فيما بين الفخذين والأليتين والسرة، ما لم يكن في الدبر أو الحيض
تفسير الطبري (4/ 380)
"Dari Laits beliau berkata; kami berbincang dekat Mujahid tentang seorang lelaki yang mencumbu isterinya ketika haid. Mujahid berkata; "Tusukkan zakarmu di manapun yang engkau hendak di celah dua paha, dua punggung dan pusat. Selagi tidak di dubur atau di faraj ketika haid” (tasfir At-Thobari, vol; 4 ms 380) 
Dari kisah-kisah di atas, nampak bahwa salah satu tugas ulama/guru/pemimpin adalah menjelaskan penerapan seks dalam Islam kepada para pengikutnya.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar