Berdasarkan riset kesehatan dasar yang dilakukan pada tahun 2010, prevalensi balita Indonesia yang mempunyai tinggi badan kurang mencapai 35,6 persen atau dengan kata lain 1 dari tiga anak tinggi badannya kurang dari yang seharusnya.
Jumlah yang lebih yang lebih mengejutkan ada di Nusa Tenggara Timur dimana prevalensi anak balita bertubuh pendek (stunting) mencapai 58,4 persen. Jumlah ini sama dengan prevalensi balita pendek di Afganistan, negara dengan prevalensi tertinggi di dunia untuk balita bertubuh pendek. Sekitar 59 persen anak balita di Afganistan memiliki tinggi badan yang kurang.
Tinggi badan anak berusia lima tahun normalnya adalah 110 cm. Sedangkan tinggi rata-rata anak laki-laki Indonesia kurang 6,7 cm dan kurang 7,3 cm untuk anak perempuan.
Anak dengan tubuh pendek dapat disebabkan banyak hal salah satunya karena kurang gizi kronis sejak masih dalam kandungan.
menurut Arum Atmawikarta, Sekretaris Eksekutif untuk Sekretariat MDGs di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). "Kasus anak pendek di Indonesia dipicu buruknya kondisi kesehatan masyarakat mengakibatkan serentetan keterbatasan aksesibilitas pangan dan pemberian layanan kesehatan,"
Kekurangtahuan orang tua dan kemiskinan membuat janin dalam kandungan kekurangan zat gizi yang dibutuhkan termasuk untuk perkembangan tulang janin.
Kekurangan gizi tidak hanya berdampak pada tubuh yang pendek tetapi juga berdampak pada perkembangan organ-organ lainnya termasuk otak. Sel otak berkembang hingga 80 persen sampai anak berusia dua tahun dan 95 persen sampai usia enam tahun.
Data yang disampaikan oleh UNICEF, anak yang pendek punya rata-rata IQ 11 poin lebih rendah dibandingkan rata-rata anak dengan tinggi normal sesuai usianya. Menurut Linda S Adair, PhD, Associate Professor of Nutrition Universitas Carolina Utara, AS mengatakan, ini tidak berlaku apabila tubuh pendek diakibatkan karena faktor genetis.
Tak hanya itu saja, tubuh pendek pada balita dan anak-anak juga beresiko mendapatkan beberapa masalah kesehatan yaitu
Potensi menderita penyakit kronis: balita dengan badan pendek mengalami gangguan oksidasi lemak yang menyebabkan penimbunan secara berlebihan hingga lebih mudah obesitas. Selain itu penelitian di Jamaika menyebutkan stunting meningkatkan resiko hipertensi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anak usia 7-8 tahun yang pendek memiliki tekanan darah sistolik (tekanan darah saat jantung menguncup) yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan tinggi normal.
Perkembangan motorik yang terhambat: misalnya terlambat berjalan
Nina Sardjunani, deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas menyatakan bahwa untuk mengatasi masalah tubuh pendek pada balita dan anak-anak pemerintah akan melakukan intervensi. Dengan program ini ditargetkan prevalensi anak pendek dapat dipangkas hingga 40 persen pada tahun 2015.
Program global bernama Scaling-Up Nutrition Movement ini diharapkan dapat mengurangi jumlah anak pendek dengan pemberian makanan pendamping dan pemberian gizi seimbang bagi anak-anak dalam 1000 hari pertama dalam kandungan hingga mencapai umur dua tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar