Begitulah kata orang tua kita jaman dulu. Semakin banyak anak, semakin banyak rizki yang akan kita dapatkan. Namun, apakah adagium “kuno” itu benar?
Dalam Islam, melahirkan dan memiliki keturunan adalah hal yang sangat dianjurkan. Beberapa dalil dari Alquran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan hal tersebut. Diantaranya firman Allah:
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri) dan carilah/harapkanlah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menafsirkan “apa yang telah ditetapkan Allah untukmu” berkata, “Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih al Qadhi, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair dan yang lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah anak. (Tafsir Al Qur`an Al Adzim: 1/512)
Adapun dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadis:
« تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ »
“Nikahilah oleh kalian wanita yang pencinta dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian kepada umat-umat yang lain.” (HR Abu Dawud: 2052, dishahihkan Al Albany dalam Jami As-Shahih: 5251)Hadis di atas adalah perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar menikah dengan wanita yang subur, agar ia dapat melahirkan anak yang banyak. Beliau ingin jika umat Islam banyak anak, maka semakin banyak pengikutnya sehingga beliau dapat berbangga dengan banyaknya jumlah pengikut pada hari kiamat kepada nabi-nabi yang lain dan umatnya.
Anjuran Islam ini juga ditunjukkan oleh hadis:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang anak Adam mati, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim)Anak adalah karunia. Kehadiran mereka adalah nikmat. Anak dan keturunan memang dapat melahirkan ragam kebaikan. Dalam kehidupan rumah tangga, anak-anak dan keturunan ibarat tali pengikat yang dapat semakin menguatkan hubungan pasangan suami istri. Dan dari sana lah kemudian akan tercipta keharmonisan dalam rumah tangga; sakinah, mawaddah dan rahmah. (Dari ceramah Syaikh Sa’ad As-Syitsry, Ahkam Al Maulud)
Dari sisi ini saja, anak-anak dengan sendirinya merupakan rizki Allah bagi manusia. Karena rizki sejatinya adalah segala hal yang bermanfaat dan menyenangkan penerimanya. Belum lagi dari sisi yang lain, Allah menjanjikan bahwa setiap anak yang terlahir akan Allah jamin rizkinya. Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am [6]: 151)Selanjutnya, jika anak-anak itu adalah anak-anak yang shaleh dan shalehah, yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, maka semakin bertambahlah karunia yang Allah berikan kepada kedua orang tuanya. Hidup kian berkah dengan kehadiran mereka. Bisa jadi, kerja keras orang tua mendidik anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah yang shaleh menjadi sebab semakin berkahnya rizki yang didapatkan. Karena orang tua yang sungguh-sungguh mendidik anak-anaknya, berarti ia telah bertakwa kepada Allah. Dan Allah berfirman tentang buah dari ketakwaan:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Thalaq [65]: 2-3)Namun, jika kedua orang tua lalai dari anak-anaknya dengan tidak memberikan pendidikan agama yang benar dan lingkungan yang baik, sehingga mereka tumbuh dalam kondisi tidak mengenal Allah, bahkan anak-anaknya itu membuat mereka lupa kepada Allah, maka nikmat dan karunia tersebut kelak berakibat petaka. Alih-alih dapat mengundang rizki, anak-anak yang seperti itu dapat berubah menjadi musibah, dunia dan akhirat.
Pada batas ini, berarti adagium “banyak anak banyak rezeki” hanya berlaku bagi orang yang banyak anak serta sungguh-sungguh membentuk mereka dengan pendidikan yang baik. Sehingga mereka tumbuh sebagai orang-orang yang mengenal Rabbnya, mengenal hak orang tuanya dan bermanfaat untuk umat.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita putra putri yang shaleh dan shalehah, bermanfaat untuk kita saat kita masih hidup dengan bakti mereka yang tulus, dan saat kita telah wafat dengan doa mereka yang tak pernah putus. Amin.
Subang, 8 Ramadhan 1432 H
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
Begitulah kata orang tua kita jaman dulu. Semakin banyak anak, semakin banyak rizki yang akan kita dapatkan. Namun, apakah adagium “kuno” itu benar?
Dalam Islam, melahirkan dan memiliki keturunan adalah hal yang sangat dianjurkan. Beberapa dalil dari Alquran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan hal tersebut. Diantaranya firman Allah:
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri) dan carilah/harapkanlah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al Baqarah [2]: 187)Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- ketika menafsirkan “apa yang telah ditetapkan Allah untukmu” berkata, “Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih al Qadhi, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair dan yang lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah anak. (Tafsir Al Qur`an Al Adzim: 1/512)
Adapun dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadis:
« تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ »
“Nikahilah oleh kalian wanita yang pencinta dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian kepada umat-umat yang lain.” (HR Abu Dawud: 2052, dishahihkan Al Albany dalam Jami As-Shahih: 5251)Hadis di atas adalah perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar menikah dengan wanita yang subur, agar ia dapat melahirkan anak yang banyak. Beliau ingin jika umat Islam banyak anak, maka semakin banyak pengikutnya sehingga beliau dapat berbangga dengan banyaknya jumlah pengikut pada hari kiamat kepada nabi-nabi yang lain dan umatnya.
Anjuran Islam ini juga ditunjukkan oleh hadis:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang anak Adam mati, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim)Anak adalah karunia. Kehadiran mereka adalah nikmat. Anak dan keturunan memang dapat melahirkan ragam kebaikan. Dalam kehidupan rumah tangga, anak-anak dan keturunan ibarat tali pengikat yang dapat semakin menguatkan hubungan pasangan suami istri. Dan dari sana lah kemudian akan tercipta keharmonisan dalam rumah tangga; sakinah, mawaddah dan rahmah. (Dari ceramah Syaikh Sa’ad As-Syitsry, Ahkam Al Maulud)
Dari sisi ini saja, anak-anak dengan sendirinya merupakan rizki Allah bagi manusia. Karena rizki sejatinya adalah segala hal yang bermanfaat dan menyenangkan penerimanya. Belum lagi dari sisi yang lain, Allah menjanjikan bahwa setiap anak yang terlahir akan Allah jamin rizkinya. Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am [6]: 151)Selanjutnya, jika anak-anak itu adalah anak-anak yang shaleh dan shalehah, yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah, maka semakin bertambahlah karunia yang Allah berikan kepada kedua orang tuanya. Hidup kian berkah dengan kehadiran mereka. Bisa jadi, kerja keras orang tua mendidik anak-anaknya menjadi hamba-hamba Allah yang shaleh menjadi sebab semakin berkahnya rizki yang didapatkan. Karena orang tua yang sungguh-sungguh mendidik anak-anaknya, berarti ia telah bertakwa kepada Allah. Dan Allah berfirman tentang buah dari ketakwaan:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Thalaq [65]: 2-3)Namun, jika kedua orang tua lalai dari anak-anaknya dengan tidak memberikan pendidikan agama yang benar dan lingkungan yang baik, sehingga mereka tumbuh dalam kondisi tidak mengenal Allah, bahkan anak-anaknya itu membuat mereka lupa kepada Allah, maka nikmat dan karunia tersebut kelak berakibat petaka. Alih-alih dapat mengundang rizki, anak-anak yang seperti itu dapat berubah menjadi musibah, dunia dan akhirat.
Pada batas ini, berarti adagium “banyak anak banyak rezeki” hanya berlaku bagi orang yang banyak anak serta sungguh-sungguh membentuk mereka dengan pendidikan yang baik. Sehingga mereka tumbuh sebagai orang-orang yang mengenal Rabbnya, mengenal hak orang tuanya dan bermanfaat untuk umat.
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita putra putri yang shaleh dan shalehah, bermanfaat untuk kita saat kita masih hidup dengan bakti mereka yang tulus, dan saat kita telah wafat dengan doa mereka yang tak pernah putus. Amin.
Subang, 8 Ramadhan 1432 H
Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
Orangtua sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya harus memiliki sifat-sifat yang utama pula, agar kita meraih keberhasilan dalam pendidikan anak-anak kita. Meskipun mungkin hal tersebut sulit, namun kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memiliki sifat-sifat tersebut, sebab kita akan menjadi fokus teladan pendidikan bagi generasi baru, paling tidak sebagi fokus teladan bagi anak-anak kita. Mereka akan senantiasa menyorot kita selaku seorang pendidik dan pembimbing, karena kitalah contoh nyata yang mereka saksikan dalam kehidupan mereka.
Berikut beberapa karakter yang harus dimiliki orang tua…
- Ikhlas
Niat yang ikhlas selain mendatangkan keridhaan dan pahala Allah, juga akan meneguhkan hati kita di saat ujian datang. Dan hati kita akan tetap lapang, bagaimanapun hasil yang kita raih setelah usaha dan doa.
- Bertakwa
Atau sebagimana yang dikatakan ulama lain : “Menjaga diri dari azab Allah dengan mengerjakan amal shalih dan merasa takut kepadanya, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.” Yakni menjaga diri dari azab Allah dengan senantiasa merasa di bawah pengawasannya. Dan senantiasa menapaki jalan yang telah Dia gariskan baik saat sendiri maupun dihadapan manusia.
Hiasi diri dengan takwa, sebab pendidik adalah contoh dan panutan sekaligus penanggung jawab pertama dalam pendidikan anak berdasarkan iman dan islam.
Dan ingatlah janji Allah bahwa Dia akan memudahkan urusan orang yang bertakwa, akan memberi jalan keluar baginya, dan memberi rizki dari arah yang tidak ia sangka. Karena anak yang shalih adalah rizki. Mudah-mudahan karena ketakwaan kita, Allah berkenan memberikan jalan keluar bagi setiap urusan kita dan memberikan rizki yang baik kepada kita.
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq:4)
- Berilmu
Orang yang tidak mempunyai sesuatu bagaimana ia akan memberikan sesuatu kepada orang lain??
- Bertanggung jawab
Bertanggungjawablah, karena setiap dari kita adalah pemimpin dan anak adalah amanat serta ujian dari Allah
- Sabar dan tabah
إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“ Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS Yusuf:86)- Lemah lembut dan tidak kasar
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidaklah ada pada sesuatu kecuali ia akan menghiasinya. Dan tidaklah sifat lemah lembut itu tercabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya buruk.” (HR Muslim)Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Wahai ‘Aisyah bersikap lemahlembutlah, karena sesungguhnya Allah itu jika menghendaki kebaikan pada sebuah keluarga, maka Allah menunjukkan mereka kepada sifat lemah lembut ini.” (HR Imam Ahmad)
Sifat lemah lembut ini akan membuat anak nyaman dan lebih mudah dalam menerima pengajaran. Dan secara tidak langsung sifat lemah lembut ini alan mewarnai karakter anak dan insya Allah sifat ini dengan sendirinya akan menurun kepadanya. Dan orang yang pertama kali akan merasakan kebaikannya adalah orang tuanya itu sendiri.
- Penyayang
Anas radhiyallahu’anhu meriwayatkan, “Seorang wanita mendatangi ‘Aisyah lalu ‘Aisyah memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberi tiap-tiap anaknya satu butir kurma dan menyisakan satu butir untuk dirinya. Lalu kedua anak memakan kurma tersebut kemudian melihat kurma yang ada pada ibunya. Kemudian wanita itu membelah dua kurma itu lalu memberi masing-masing setengah kepada dua anaknya tersebut. Taklama kemudian Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam datang, lalu ‘Aisyah menceritakan hal itu kepada beliau. Maka Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Apakah kamu takjub melihatnya? Sungguh Allah telah merahmatinya karena kasih sayangnya kepada dua anaknya” (HR. Bukhari)
- Lunak dan fleksibel
Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Umar Al Badri rhadhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya aku biasa melambatkan hadir dalam shalat Subuh berjamaah karena si Fulan yang suka memanjangkan shalatnya ketika mengimami kami.” Akhirnya Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam marah, dan aku belum pernah melihat beliau marah ketika memberikan nasehat melebihi kemarahan beliau saat itu. Beliau bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya diantara kalian ada yang membuat orang lain lari (meninggalkan shalat jama’ah). Maka siapa saja diantara kalian yang menjadi imam shalat hendaklah ia meringankannya, karena diantara makmum ada orang yang sudah tua, orang lemah, dan orang yang sedang punya keperluan.” (Mutaffaqun’alaih)
Jika Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam melarang sikap berlebihan seperti itu dalam masalah pokok agama, lalu bagaimana pula dalam masalah pendidikan? Rasulullah bersabda, “Permudahlah, jangan membuat sulit dan berikanlah berita gembira, janganlah kalian membuat orang lain lari.” (Mutaffaqun’alaih)
- Tidak mudah marah
Disamping itu Nabi shalallahu’alaihi wassalam juga mengatakan bahwa keberanian (syaja’ah) adalah kemampuan seseorang untuk menahan amarah. Diriwayatkan dari Abu Harairah bahwa Rasulullah bersabda, “Orang yang pemberani bukanlah orang yang selalu menang dalam berkelahi, akan tetapi pemberani adalah orang yang menguasai (menahan) diri ketika marah.” (Muttafaqun’alaih)
- Dekat namun berwibawa
- Membatasi diri dalam memberikan nasehat
***
muslimah.or.id
Diringkas dari :
Mencetak Generasi Rabbani , Ummu Ihsan Chairriyah & Abu Ihsan Al-Atsari, Darul Ilmi
Mendidik Anak Bersama Nabi shalallahu’alaihi wassalam , Muhammad Suwaid, Pustaka Arafah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar