Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain. Alat kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa komunikasi akan terisolasi
Komunikasi bertujuan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik, kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Abraham Maslow (Rakhmat, 1998:37) menyebutkan “kebutuhan akan cinta” atau “belongingness”.
Secara singkat, kita ingin bergabung dan berhubungan dengan orang lain. Kita ingin mengendalikan dan dikendalikan, kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif.
Lingkungan sosial merefleksikan bagaimana orang hidup, bagaimana ia berinteraksi dengan orang lain. Lingkungan sosial adalah budaya, dan bila kita ingin benar-benar memahami komunikasi, kitapun memahami budayanya.
Komunikasi ... adalah pembawa proses sosial. Ia adalah alat yang manusia miliki untuk mengatur, menstabilkan dan memodifikasi kehidupan sosialnya, ... proses sosial bergantung pada penghimpunan, pertukaran dan penyampaian pengetahuan. Pada gilirannya pengetahuan bergantung pada komunikasi (Peterson, Jensen, dan Rivers, 1965).
Dalam konteks ini dapat dirumuskan budaya sebagai panduan-panduan yang merefleksikan respons komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungannya. Pola budaya ini merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang dilakukan mereka yang lahir dan diasuh dalam budaya itu.
Dengan demikian budaya sebagai seperangkat aturan terorganisasikan mengenai cara-cara yang dilakukan individu-individu dalam masyarakat berkomunikasi satu sama lain dan cara mereka berpikir tentang diri mereka dalam lingkungan mereka.
Proses yang dilalui individu-individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi dimulai pada awal kehidupan melalui proses asimilasi dan pendidikan pola-pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf-saraf menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita (Adder dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 1996:138).
Proses komunikasi dalam suatu budaya berlangsung dengan penggunaan simbol-simbol. Penggunaan simbol-simbol secara populer dalam masyarakat sangat bervariasi. Simbol dipergunakan untuk mendiskusikan suatu objek, pribadi-pribadi, tindakan yang berhubungan dengan masyarakat (public interest) atau individu.
Berbagai contoh penggunaan simbol-simbol dalam kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, ekologi, atau dalam hubungan internasional dapat diamati baik dalam bentuk bahasa, benda, atau lambang-lambang tertentu guna mempresentasikan “makna” yang melekat terkait dalam setiap kejadian (event) kehidupan itu secara luas dan intensif.
Kunci untuk memahami kualitas dan makna simbol harus dirujuk pada lingkungan dimana dia terkait dan merupakan bahagian dari lingkungan tersebut. Selanjutnya, bukan hanya kodrat (nature) dari lambang itu sendiri tetapi juga harus dilihat pada hubungan yang diperhitungkan pada saat memillih simbol itu sendiri. Pada waktu yang bersamaan kita tidak dapat melupakan keseluruhan sifat-sifat dari objek yang dipergunakan sebagai simbol, sebab objek simbol dan kelompok manusia yang mempergunakan simbol itu cenderung mempresentasikan hubungan terkoodinir dalam situasi tertentu (Usman Pelly dalam Teori Sosial Budaya, 1994:84).
Manusia sebagai makhluk yang bersimbol (animal symbolicum) dalam tatanan tertentu cenderung menciptakan suatu tanda atau lambang utama sebagai makna dalam komunikasi. Ada simbol yang dijadikan sebagai media penyampaian pesan. Namun ada pula media tradisional yang berfungsi sebagai jembatan atau sarana.
Media trandisional disini dapat berupa upacara-upacara ritual, simbol tertentu yang dijadikan alat tukar, bahkan tata kebiasaan tertentu yang bersifat kolektif. Lewat sarana-sarana atau simbol-simbo ini, dapat menghadirkan kaum kerabat atau klen saling berkumpul. Melalui upacar-upacara ritual inilah berlangsung proses komunikasi antar pribadi yang intensif.
Setiap suka di Indonesia yang terdiri dari berbagai etnik mempunyai simbol-simbol tertentu yang disepakati bersama sebagai media tradisional untuk menjalin relasi antarklen, sarana komunikasi, dan benda sakral dalam upacara-upacara. Suku batak adalah salah satu etnik di Sumatera Utara yang kaya akan simbol-simbol. Salah satu yang terkenal adalah simbol Ulos yang memainkan peranan penting dalam masyarakat Batak.
Kehidupan masyarakat suku Batak, tidak terlepas dari penggunaan kain ulos, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai upacara adat. Ulos pada mulanya identik dengan ajimat, dipercaya mengandung "kekuatan" yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan. Menurut beberapa penelitian penggunaan ulos oleh suku Batak, memperlihatkan kemiripan dengan bangsa Karen di perbatasan Myanmar, Muangthai dan Laos, khususnya pada ikat kepala, kain dan ulosnya.
Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain, seperti yang tercantum dalam filsafat batak yang berbunyi: “Ijuk pengihot ni hodong.” Ulos pengihot ni halong, yang artinya ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang diantara sesama.
Pada mulanya fungsi Ulos adalah untuk menghangatkan badan, tetapi kini Ulos memiliki fungsi simbolik untuk hal-hal lain dlam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak. Setiap ulos mempunyai ‘raksa’ sendiri-sendiri, ertinya mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu.
Menurut pandangan orang-orang Batak, ada tiga sumber kehangatan (panas) bagi manusia, yaitu matahari, api, dan Ulos. Tentu tidak akan menimbulkan pertanyaan jika dikatakan bahwa matahari dan api merupakan sumber panas, tetapi tidak demikian dengan kain Ulos. Adalah wajar jika kemudian orang-orang non Batak mempertanyakan kain Ulos sebagai sumber panas atau kehangatan.
Munculnya pandangan orang-orang Batak bahwa kain Ulos merupakan sumber panas terkait dengan suhu tempat di mana orang-orang Batak membangun tempat tinggalnya. Secara geografis, tempat tinggal orang Batak berada di kawasan pegunungan yang beriklim sejuk (http://www.silaban.net). Kondisi alam ini, menyebabkan panas yang dipancarkan oleh matahari tidak cukup memberikan kehangatan, terutama ketika malam hari. Oleh karenanya, orang Batak kemudian menciptakan sesuatu yang mampu memberikan kehangatan yang melepaskan mereka dari cengkraman hawa dingin. Dalam konteks inilah kain Ulos menjadi sumber panas yang memberikan kehangatan, baik kehangatan secara fisik maupun non fisik kepada orang Batak. Kehangatan kain Ulos tidak saja melindungi tubuh orang Batak dari udara dingin, tetapi juga mampu membentuk kaum lelaki Batak berjiwa keras, mempunyai sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan perempuannya mempunyai sifat ketahanan dari guna-guna kemandulan.
Kain Ulos lahir dari pencarian orang-orang Batak yang hidup di daerah pegunungan yang dingin. Seiring berjalannya waktu, dari sekedar kain pelindung badan, Ulos berkembang menjadi lambang ikatan kasih, pelengkap upacara adat, dan simbol sistem sosial masyarakat Batak. Bahkan, kain ini dipercaya mengandung kekuatan yang bersifat religius magis dan dianggap keramat serta memiliki daya istimewa untuk memberikan perlindungan kepada pemakainya.
Berbagai jenis dan motif kain Ulos menggambarkan makna tersendiri. Tergantung sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan tertentu. Kapan digunakan, diberikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana. Bahkan, berbagai upacara adat seperti pernikahan, kelahiran, kematian, dan ritual lainnya tak pernah terlaksana tanpa Ulos (http://www.silaban.net/). Melihat peran sentral kain ulos tersebut, nampaknya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kain ulos merupakan bagian (baca: pelengkap) dari kehidupan orang Batak.
Bila kain ini dipakai oleh laki-laki, bagian atasnya disebut ande-hande, sedangkan bagian bawahnya disebut singkot. Sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang-bulang, sabe-sabe atau detar. Namun terkait dengan nilai-nilai sakral yang melingkupi kain Ulos, maka tidak semua Ulos dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya Ulos Jugia, Sadum, Ragi Hotang, Ragidup, dan Runjat, hanya dapat dipakai pada waktu-waktu dan upacara tertentu. Dalam keseharian, laki-laki Batak menggunakan sarung tenun bermotif kotak-kotak, tali-tali dan baju berbentuk kemeja kurung berwarna hitam, tanpa alas kaki.
Bila Ulos dipakai oleh perempuan Batak Toba, bagian bawah disebut haen, untuk penutup punggung disebut hoba-hoba, dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampe-ampe. Apabila digunakan sebagai penutup kepala disebut saong, dan untuk menggendong anak disebut parompa. Dalam kesehariannya, perempuan Batak memakai kain blacu hitam dan baju kurung panjang yang umumnya berwarna hitam, serta tutup kepala yang disebut saong.
Secara garis besar, ada tiga cara pemakaian Ulos, yaitu: pertama, siabithononton (dipakai). Ulos yang dipakai di antaranya: ragidup, sibolang, runjat, djobit, simarindjamisi, dan ragi pangko. Kedua, sihadanghononton (dililitkan di kepala atau bisa juga di jinjing). Ulos yang penggunaannya dililit di kepala atau bisa juga ditengteng di antaranya: sirara, sumbat, bolean, mangiring, surisuri, dan sadum. Ketiga, sitalitalihononton (dililit di pinggang). Ulos yang dililitkan di pinggang di antaranya: tumtuman, mangiring, dan padangrusa. Ketiga aturan pemakaian tersebut membawa pesan bahwa menempatkan Ulos pada posisi yang tepat merupakan hal yang sangat penting, tidak saja terkait dengan keserasian dalam berpakaian tetapi juga terkait dengan makna-makna filosofis yang dikandungnya. Dengan kata lain, Ulos tidak hanya berfungsi sebagai penghangat dan lambang kasih sayang, melainkan juga sebagai simbol status sosial, alat komunikasi, dan lambang solidaritas.
Terkait Ulos sebagai ekspresi kasih-sayang, maka dikenal ungkapan mangulosi. Dalam adat Batak, mangulosi (memberikan Ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima Ulos. Dalam hal mangulosi, ada aturan umum yang harus dipatuhi, yaitu mangulosi hanya boleh dilakukan kepada orang yang mempunyai status kekerabatan atau sosial lebih rendah, misalnya orang tua boleh mangulosi anaknya, tetapi sang anak tidak boleh mangulosi orang tuanya.
Demikian juga dengan Ulos yang hendak digunakan untuk mangulosi harus mempertimbangkan tujuan dari pemberian Ulos tersebut. Misalnya hendak mangulosi Boru yang akan melahirkan anak sulungnya, maka Ulos yang diberikan adalah Ulos Ragidup Sinagok. Demikian juga jika hendak mangulosi pembesar atau tamu kehormatan yang dapat memberikan perlindungan (mangalinggomi), maka Ulos yang digunakan adalah Ulos Ragidup Silingo.
Melihat begitu pentingnya fungsi Ulos dalam masyarakat Batak, maka upaya-upaya pelestarian harus segera dilakukan. Pelestarian tentunya tidak hanya dimaksudkan agar keberadaan kain tersebut tidak punah, tetapi juga merevitalisasinya sehingga memberikan manfaat (baca: kesejahteraan) bagi orang-orang Batak yang melestarikannya. Namun demikian, revitalisasi harus dilakukan secara hati-hati sehingga tidak melunturkan nilai-nilai yang dikandung oleh kain Ulos. Jangan sampai muncul gugatan, “Kami merasa sangat ngilu. Melihat Ulos diguntingi dan dipotong-potong. Dijadikan taplak meja, bahkan alas jok kursi untuk dihunduli. Itu pelecehan dan sangat tidak menghargai nilai budaya bangso Batak”.
Pelestarian dan revitalisasi tidak boleh hanya berorientasi pada nilai ekonomi saja, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga orang Batak tidak mengalami alienasi dan tercerabut dari akar lokalitasnya.
Secara umum, pembuatan kain Ulos terdiri dari mengani, tonum, dan manirat. Namun sebenarnya, proses pembuatannya tidak sesederhana itu karena setiap jenis Ulos membawa kerumitan-kerumitan tersendiri.
Pada dasarnya, sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahan-bahan untuk membuat kain Ulos adalah sama, yaitu kapas. Walaupun memiliki bahan dasar sama, tetapi ketika cara membuatnya berbeda, maka akan menghasilkan jenis Ulos yang berbeda, tidak saja pada jenis dan bentuknya, tetapi juga pada nilai dan fungsi yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan cara pembuatan, jenis dan fungsinya, terdapat beberapa macam Ulos, di antaranya adalah :
1. Ulos Jugia (Homitan).
Ulos Jugia disebut juga Ulos Naso Ra Pipot atau Pinunsaan. Ulos ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan harganya sangat mahal. Oleh karenanya, Ulos ini biasanya disimpan di hombung atau parmonang-monangan (jenis lemari pada jaman dulu). Menurut kepercayaan orang Batak, Ulos ini hanya dapat dipakai oleh orang yang sudah saur matua atau naung gabe (orang tua yang sudah mempunyai cucu dari anaknya laki-laki dan perempuan). Namun walaupun telah mempunyai cucu, seseorang belum masuk kategori saur matua jika masih ada anaknya yang belum kawin atau belum mempunyai keturuan, walaupun telah mempunyai cucu dari anaknya yang lain.
Sulitnya persyaratan untuk dapat memakai Ulos Jugia menyebabkan Ulos ini menjadi benda langka sehingga banyak orang yang tidak mengenalnya. Ulos ini sering menjadi barang warisan orang tua kepada anaknya, dan nilainya sama dengan sitoppi (emas yang dipakai oleh istri raja pada waktu pesta).
2. Ulos Ragidup
Pembuatan Ulos Ragidup harus selesai dalam waktu tertentu menurut hatiha Batak (kalender Batak). Bila dimulai artia (hari pertama), maka harus selesai di tula (hari tengah dua puluh). Oleh karena pembuatannya dibatasi oleh waktu, maka pembuatan Ulos jenis ini dilakukan secara gotong royong oleh lima orang. Jumlah lima orang berdasarkan pada kain Ulos Ragidup yang terdiri dari lima bagian, yaitu: atas, bawah, kiri, kanan dan tengah. Kedua sisi, kiri dan kanan Ulos (ambi), dikerjakan oleh dua orang, demikian juga dengan bagian atas dan bawah (tinorpa). Sedangkan bagian tengah atau badan Ulos (tor) dikerjakan oleh satu orang. Sehingga secara keseluruhan Ulos ini dikerjakan oleh lima orang. Kemudian, hasil kerja kelima orang ini disatukan (diihot) menjadi satu kesatuan yang disebut Ulos Ragidup.
Warna, lukisan, serta coraknya (ragi) memberi kesan seolah-olah Ulos ini benar-benar hidup, sehingga orang menyebutnya Ragidup, yaitu lambang kehidupan. Oleh karenanya, setiap rumah tangga Batak mempunyai Ulos Ragidup. Selain lambang kehidupan, Ulos ini juga lambang doa restu untuk kebahagian dalam kehidupan, terutama dalam hal keturunan, yakni banyak anak (gabe) bagi setiap keluarga dan panjang umur (saur sarimatua). Dalam upacara adat perkawinan, Ulos Ragidup diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada ibu pengantin lelaki sebagai Ulos Pargomgom yang maknanya adalah permohonan izin kepada Tuhan agar si pengantin dapat hidup bersama.
Ada yang berpendapat bahwa Ulos Ragidup nilainya setingkat di bawah Ulos Jugia. Namun ada juga yang beranggapan bahwa Ulos Ragidup merupakan Ulos yang paling tinggi nilainya karena selalu digunakan dalam upacara adat Batak, baik upacara duka cita maupun upacara suka-cita.
Ulos biasanya dipakai oleh golongan bangsawan (raja) dan masyarakat menengah ke atas. Pada jaman dahulu juga dipakai untuk mangupa tondi (mengukuhkan semangat) anak yang baru lahir. Selain itu, Ulos ini biasanya dipakai oleh suhut si habolonan (tuan rumah) yang sedang mengadakan upacara. Dengan memakai Ulos ini akan jelas kelihatan siapa tuan rumahnya.
Pada upacara perkawinan, Ulos ini biasanya diberikan sebagai Pansamot, yaitu pemberian dari orang tua pengantin perempuan kepada orang tua pengantin laki-laki. Di beberapa daerah, Ulos Ragidup tidak boleh dipakai oleh kaum wanita.
Jika ada orang tua yang meninggal dunia, maka Ulos Ragidup ini hanya boleh dipakai oleh anak tertua, sedangkan anak yang lainnya hanya boleh memakai Ulos Sibolang. Ulos ini juga bisa digunakan untuk Panggabei (Ulos Saur Matua) kepada cucu dari anak yang meninggal. Pada kondisi ini, Ulos Ragidup mempunyai derajat yang sama dengan Ulos Jugia.
3. Ragihotang
Ulos Ragihotang merupakan Ulos yang mempunyai ragi (corak) rotan (hotang). Ulos ini biasanya diberikan kepada sepasang pengantin, sehingga disebut juga Ulos Marjabu. Tujuan pemberian Ulos ini adalah agar ikatan batin kedua pengantin seperti rotan. Pemberian Ulos ini kepada si pengantin dengan cara disampirkan dari sebelah kanan pengantin, ujungnya dipegang dengan tangan kanan laki-laki, dan ujung sebelah kiri oleh perempuan lalu disatukan di tengah dada seperti terikat.
Ulos ini juga digunakan untuk mangulosi seseorang yang dianggap picik, dengan harapan agar Tuhan memberikannya kebaikan sehingga orang tersebut rajin berkerja. Dalam upacara kematian, Ulos ini dipakai untuk membungkus jenazah, sedangkan dalam upacara penguburan kedua kalinya, digunakan untuk membungkus tulang-belulangnya. Oleh karenanya, Ulos ini mempunyai derajat yang cukup tinggi.
4. Ulos Sadum
Ulos Sadum biasanya dipakai dalam acara-acara yang penuh keceriaan. Hal ini dikarenakan Ulos ini mempunyai ragam warna yang cerah. Begitu indahnya Ulos ini sehingga sering digunakan sebagai hiasan dinding atau diberikan sebagai kenang-kenangan, khususnya kepada pejabat yang berkunjung ke daerah Batak.
Di Tapanuli Selatan, Ulos ini biasanya dipakai sebagai panjangki/parompa (gendongan) bagi keturunan Daulat Baginda atau Mangaraja. Selain itu, Ulos ini juga digunakan sebagai alas sirih di atas piring besar (pinggan godang burangir/harunduk panyurduan) untuk mengundang (marontang) raja-raja.
5. Ulos Runjat
Ulos ini biasanya dipakai oleh orang kaya atau orang terpandang ketika edang-edang (menghadiri undangan). Selain itu, Ulos ini juga dapat diberikan kepada pengantin oleh keluarga dekat, misalnya oleh Tulang (paman), pariban (kakak pengantin perempuan yang sudah kawin), dan pamarai (pakcik pengantin perempuan). Ulos ini juga dapat diberikan pada waktu mangupa-upa dalam acara pesta gembira (ulaon silas ni roha).
6. Ulos Sibolang
Ulos ini dapat dipakai baik ketika berduka atau bersuka cita. Untuk dipakai pada saat berduka-cita, biasanya dipilih Ulos Sibolang yang warna hitamnya menonjol, sedangkan bila bersuka cita dipilih yang warna putihnya menonjol.
Dalam upacara perkawinan, Ulos ini biasanya dipakai sebagai tutup ni ampang dan juga dapat disandang. Jika digunakan dalam upacara perkawinan, biasanya dipilih yang warna putihnya menonjol. Ulos Sibolang yang digunakan dalam upacara perkawinan, biasanya disebut Ulos Pamontari.
Oleh karena Ulos ini dapat dipakai dalam semua kegiatan adat Batak, maka Ulos ini dianggap oleh sebagian orang Batak sebagai Ulos yang paling tinggi nilai adatnya. Namun demikian, Ulos ini kurang tepat dipakai sebagai Ulos Pangupa atau Parompa.
7. Ulos Suri-suri Ganjang.
Disebut Ulos Suri-suri Ganjang (biasanya orang Batak hanya menyebutnya Ulos Suri-suri) karena coraknya berbentuk sisir memanjang. Dahulu Ulos ini dipergunakan sebagai ampe-ampe/hande-hande. Pada waktu margondang (memukul gendang) Ulos ini dipakai hula-hula untuk menyambut anak boru. Ulos ini juga dapat diberikan sebagai “Ulos Tondi” kepada pengantin. Ulos ini juga sering dipakai kaum wanita sebagai sabe-sabe. Keistimewaan Ulos ini adalah panjangnya yang melebihi Ulos biasa. Bila dipakai sebagai ampe-ampe bisa mencapai dua kali lilit pada bahu kiri dan kanan sehingga si pemakai seakan mengenakan dua Ulos.
8. Ulos Mangiring
Ulos ini mempunyai corak saling beriringan, yang melambangkan kesuburan dan kesepakatan. Oleh karenanya, Ulos ini biasanya digunakan oleh seseorang sebagai Ulos Parompa kepada cucunya. Pemberian ini sebagai simbol bahwa si cucu akan diikuti pula oleh kelahiran adik-adiknya yang akan menjadi teman seiring-sejalan.
Ulos ini juga dapat digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Bagi kaum laki-laki dalam bentuk tali-tali (detar), sedangkan bagi kaum wanita dapat dipakai sebagai saong (tudung). Pada waktu upacara mampe goar (pembaptisan anak), Ulos ini juga dapat dipakai sebagai bulang-bulang oleh hula-hula kepada menantunya.
9. Bintang Maratur
Ulos Bintang Maratur sebagaimana namanya mempunyai ragi yang menggambarkan jejeran bintang yang teratur. Jenis ragi ini bermakna kepatuhan dan kerukunan dalam ikatan kekeluargaan. Selain itu, juga bermakna tingkatan sama rata dalam hal sinadongan (kekayaan) atau hasangapon (kemuliaan). Ulos ini dapat dipakai sebagai hande-hande (ampe-ampe), tali-tali, atau saong. Ulos ini mempunyai nilai dan fungsi yang sama dengan Ulos Mangiring.
10. Sitoluntuho-Bolean
Ulos ini biasanya hanya dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita. Tidak mempunyai makna adat kecuali bila diberikan kepada seorang anak yang baru lahir sebagai Ulos Parompa. Jenis Ulos ini dapat dipakai sebagai tambahan, yang dalam istilah adat Batak dikatakan sebagai Ulos Panoropi yang diberikan hula-hula kepada boru yang sudah terhitung keluarga jauh. Disebut Sitoluntuho karena raginya/coraknya yang berjejer tiga, merupakan “tuho” atau “tugal” yang biasanya dipakai untuk melubangi tanah guna menanam benih.
11. Ulos Jungkit
Ulos Jungkit mempunyai hiasan yang terbuat dari permata. Oleh karenanya, Ulos ini juga disebut Ulos Nanidondang atau Ulos Paruda (permata). Pada zaman dahulu, Ulos ini dipakai oleh para anak gadis dan keluarga raja-raja untuk hoba-hoba, menerima tamu pembesar kerajaan, atau pada saat melangsungkam resepsi perkawinan. Namun karena permata semakin sulit didapat, maka bentuk ragi permata pada Ulos ini diganti dengan cara manjungkit (mengkait) benang Ulos. Oleh karena proses pembuatannya sangat sulit, maka Ulos ini merupakan barang langka, dan saat ini sudah sangat sulit untuk menemukannya.
12. Ulos Lobu-Lobu
Ulos Lobu-Lobu merupakan Ulos yang digunakan untuk fungsi khusus, misalnya oleh orang yang sering dirundung kemalangan (kematian anak). Oleh karenanya, Ulos ini tidak pernah diperdagangkan dan orang yang membutuhkan biasanya memesan langsung kepada pengrajinnya. Selain itu, Ulos ini biasanya disimpan diparmonang-monangan, sehingga tidak cukup banyak orang yang mengenal jenis Ulos ini.
Bentuk Ulos ini seperti kain sarung dan rambunya tidak boleh dipotong. Ulos ini juga disebut Ulos giun hinarharan. Jaman dahulu para orang tua sering memberikan Ulos ini kepada anaknya yang sedang mengandung (hamil tua). Tujuannya agar nantinya anak yang dikandung lahir dengan selamat.
Selain keduabelas jenis tersebut, Ulos Batak masih mempunyai banyak macam dan coraknya, seperti: Ragi Panai, Ragi Hatirangga, Ragi Ambasang, Ragi Sidosdos, Ragi Sampuborna, Ragi Siattar, Ragi Sapot, Ragi si Imput ni Hirik, Ulos Bugis, Ulos Padang Rusa, Ulos Simata, Ulos Happu, Ulos Tukku, Ulos Gipul, dan Ulos Takkup. Menurut orang-orang tua, ragam Ulos Batak mencapai 57 jenis.
Menurut adat yang berkembang dalam masyarakat, setiap orang Batak akan menerima minimal tiga macam Ulos dalam hidupnya, yaitu sewaktu baru lahir (Ulos Parompa atau Ulos Paralo-Alo Tondi), kawin (Marjabu atau Hela), dan saat meninggal dunia (Ulos Saput). Oleh karena setiap orang pasti mendapatkan ketiganya, maka Ulos ini juga disebut na marsintuhu (Ulos keharusan).
Perspektif Teoritik
Manusia yang selalu mengalami perubahan, dari proses kehidupan sehari-hari sampai dengan ritual-ritual yang dilakukan dalam peringatan hal-hal yang dianggap sangat berarti, penting atau pun mempunyai nilai suci. Ritual yang dilakukan berbeda-beda bentuk dan prosesinya, hal ini mempertimbangkan ritual apa yang akan dilaksanakan. Kehidupan manusia sejak dalam kandungan, kelahiran, perkawinanan sampai dengan kematian dipenuhi oleh ritual-ritual.
Komunikasi yang bersifat ekspresif menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi). Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal (Mulyana, 2002: 21-22) Simbol non verbal ini dapat saja berupa benda yang dianggap suci (sacred).
Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya ketimbang dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat inderanya. (Mulyana, 2001 : 77). Dalam hal ini, Peirce mengamukakan bahwa simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandai (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya (dalam Sobur, 2003: 156).
Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang, yakni sesuatu yang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Ogden dan Richards (dalam Aminuddin, 1997: 2005-2006) menyatakan simbol memiliki hubungan asosiatif dengan pikiran atau referensi, simbol dan dunia acuan.
Sebagai peserta komunikasi, manusia itu unik karena mampu memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadarannya. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokal-lah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. Makna suatu simbol bukanlah pertama-tama ciri fisiknya, namun apa yang orang dapat dilakukan mengenai simbol tersebut. Dengan kata lain sebagaimana dikatakan Shibutani (dalam Mulyana, 2001: 77) “makna pertama-tama merupakan properti perilaku dan kedua merupakan properti objek”. Dengan demikian, semua objek simbolik menyarankan suatu rencana tindakan (plan of action) dan bahwa alasan untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap suatu objek antara lain diisyaratkan oleh objek tersebut.
Lambang atau simbol yan ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas simbol yang bersifat verbal dan nonverbal (Pateda, 2001: 48). Simbol verbal adalah simbol-simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara. Sedangkan simbol nonverbal dapat berupa 1) simbol yang menggunakan anggota badan, lalu diikuti dengan lambang, 2) suara, 3) benda-benda yang bermakna kultural dan ritual.
Kajian Pustaka
Dalam rangka menjalin komunikasi yang berdasarkan pada keseragaman makna, manusia dalam interaksi sosial selalu berupaya mencocokkan apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sedang terjadi pada lingkungannya, artinya manusia dalam proses komunikasi bukan sekedar penerima lambang atau simbol-simbol yang dilihat, didengar atau yang dirabanya secara pasif, melainkan individu secara aktif mencoba mengadakan interpretasi terhadap lambang, simbol atau tanda tersebut. Upaya interpretasi itu adalah bagian interaksi yan dapat dilakukan dalam rangka menjalin komunikasi antara pengirim pesan dengan penerima pesan, dan interaksi interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap pesan yang disampaikan di antara peserta komunikasi tetapi interaksi interpretasi juga dilakukan terhadap dirinya sendiri, karena orang tidak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri (Poloma, 1994: 257).
Dalam interaksi individu dengan individu lainnya akan diperlukan suatu media yang akan dipergunakan simbol-simbol baik yang bersifat melekat pada diri sendiri, misalnya mimik muka, berbicara gesture yang merupakan bentuk simbol yang melekat pada diri. Sedangkan simbol yang diluar diri misalnya cara seorang menggunakan pakaian dapat merupakan sebagai petunjuk identitasnya.
Tidak semua benda yang akan menjadi simbol dari komunikasi, akan tetapi dalam suatu kondisi tertentu setiap benda yang dipergunakan akan dapat menjadi simbol komunikasi, seperti asap pada suatu saat bisa dijadikan simbol. Suku Indian di Amerika Serikat asap dapat dijadikan simbol suatu penyerangan atau persahabatan, asap tersebut dibentuk sedemikian rupa, dibentuk dengan kepulan yang meliuk-liuk.
Simbol pertama-tama bertempat dalam suatu tindakan, ketika dalam kontak hidup anta dua orang, simbol dapat hidup sendiri. Dalam kontak tersebut, tindakan sebagai simbolis merupakan suatu komunikasi yang sangat penting dan efektif. Disini simbol dipraktekkan, karena merupakan petunjuk jalan yang memberi arah kepada perjalanan kita, alat transformasi, untuk sesuatu (Van Peusen dalam Dick Hartoko, 1976: 21).
Tindakan simbolis hanya mungkin sebagai komunikasi antara manusia yang sangat sederhana, hubungan itu ditentukan dua orang, akan tetapi manusia sebagai makhluk sosial cenderung untuk berkelompok, hidup dalam suatu komunitas tertentu. Simbol-simbo semakin berkembang, semakin dipahami bersama melalui interaksi yang lebih luas, simbol pun bukan menjadi milik individu lagi, akan tetapi lebih bersifat komuniter dan menjadi milik bersamadalam komunitas penduduk yang mendukung kebudayaan tertentu.
Komunitas manusia memanfaatkan suatu simbol yang sangat berperan penting untuk dapat berkomunikasi. Simbol adalah tanda yang khusus bersifat arbitrier artinya bersifat manasuka atau tidak sama dengan yang ditandai. Simbol hanya bisa dimengerti dalam konteks yang ditafsirkan oleh kebudayaan itu sendiri, bersifat cultur spesific.
Kain Ulos tidak sekedar hasil kerajinan yang mempunyai tampilan indah, tetapi juga merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Dengan kata lain, dengan mengetahui dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kain Ulos, maka kita akan mengetahui apa dan siapa orang Batak. Oleh karenanya, upaya pelestarian kain Ulos baik secara fisik maupun nilai-nilai yang dikandungnya harus segera dilakukan. Atau, generasi Batak akan teralienasi karena tercerabut dari akar lokalitasnya.
Secara garis besar, ada empat nilai yang dapat kita ambil dari kain Ulos, yaitu: kearifan lokal, keyakinan, tata aturan, dan kasih sayang.
Pertama, kain Ulos merupakan manifestasi dari pengetahuan lokal masyarakat Batak. Kondisi geografis alam tempatan orang Batak yang berhawa cukup dingin menyebabkan matahari dan api tidak cukup memberi kehangatan, kondisi ini telah menggugah orang-orang Batak untuk mencari dan menciptakan sumber kehangatan baru, yaitu kain Ulos. Oleh karenanya, penggunaan kapas sebagai bahan baku utama untuk membuat kain Ulos, bukan suatu kebetulan, tetapi merupakan proses panjang dari sebuah pencarian. Demikian juga pewarna kain yang dibuat dari bahan-bahan alami.
Kedua, pengetahuan lokal tersebut terus berkembang dan akhirnya menjadi falsafah hidup orang Batak. Menurut orang Batak, ada tiga sumber kehangatan, yaitu: matahari, api, dan Ulos. Eksistensi kain Ulos semakin kuat ketika ia menjadi bagian penting dari upacara-upacara adat yang dilakukan oleh orang Batak. Akhirnya, kain Ulos menjadi kain sakral yang menjadi simpul keyakinan orang Batak kepada Tuhan.
Ketiga, kain Ulos sebagai sumber tertib sosial (baca: tata aturan). Beragam Ulos dengan segenap raksa yang terkandung di dalamnya, jika dikaji secara serius, ternyata merupakan sumber untuk melakukan tertib sosial dalam masyarakat Batak. Ulos Jugia, Ragidup, dan Ragihotang misalnya, mengandung tata aturan bagaimana hidup bermasyarakat dan bagaimana tertib sosial dijaga dalam masyarakat. Mengapa Ulos Jugia hanya boleh dipakai oleh kakek yang telah mempunyai cucu, mengapa Ulos ragidup harus dipakai oleh tuan rumah dalam kegiatan kemasyarakatan, dan mengapa Ulos Sadum harus dijadikan alas sirih ketika menyambut raja. Dengan kata lain, keberadaan beragam jenis Ulos tersebut, merupakan cara masyarakat Batak menjaga harmoni sosial.
Keempat, kain Ulos sebagai pertanda kehangatan (baca: kasih sayang) orang Batak. Pemberian Ulos (mangulosi) agar orang yang diberikan terlepas dari serangan dingin yang menggrogoti tulang merupakan cara orang Batak mengungkapkan kasih sayangnya. Dengan memberikan Ulos, maka ia telah melindungi orang-orang yang dikasihinya.
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.indokain.com/newfall03/ulr1det.jpg&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar