A. Periode Awal
Dalam upaya untuk memahami sejarah filsafat ilmu mengada di dalam dunia kita hari ini, sebaiknya kita mencari jejaknya pada pemikiran tiga filsuf terkemuka Yunani Kuno. Mereka adalah Thales, Aristoteles, Phytagoras, dan Plato.
1. Thales
Thales hidup di masa 640-546 SM. Ia hidup 200 tahun sebelum filsuf besar Yunani lainnya, Aristoteles melihat matahari bumi. Di masa hidupnya, Thales mengembangkan filsafat alam kosmologi dengan mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta. Dalam pendapatnya, semua yang berada di dunia berasal dari air sebagai materi dasar alam semesta. Selain itu, Thales juga secara aktif mempelajari magnetisme, listrik, astronomi, dan matematika. Oleh banyak kalangan pemikir, Thales dianugerahi identitas sebagai Bapak dari penalaran deduktif.
2. Phytagoras
Phytagoras dikenal sebagai pemikir dan tokoh matematika. Bagi Phytagoras, bilangan-bilangan merupakan intisari dari semua benda. Juga merupakan dasar pokok dari sifat benda-benda. Sehingga baginya, matematika merupakan suatu sarana atau alat bagi pengetahuan filsafati.
3. Plato
Plato merupakan murid yang baik dari Phytagoras. Selama karir kefilsufannya, Plato menegaskan pendapat-pendapat dari Phytagoras. Bagi Plato, filsuf merupakan pencinta pandangan tentang kebenaran. Sedangkan filsafat merupakan pencarian yang bersifat perekaan terhadap pandangan seluruh kebenaran. Keyakinannya terhadap filsafat ini disebut sebagai filsafat spekulatif. Plato juga mengatakan bahwa geometri merupakan pengetahuan rasional berdasarkan akal murni yang menjadi kunci ke arah pengetahuan dan kebenaran. Geometri juga berguna bagi pemahaman terhadap sifat dasar dari kenyataan terakhir. Inilah yang selanjutnya dijadikan akar oleh Aristoteles, murid yang cemerlang dari Plato.
4. Aristoteles
Episteme, merupakan konsep tentang “suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat.” Sehingga pemahaman filsafat dan ilmu sebagai pengetahuan yang rasional berakar dari sini. Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Praktike atau pengetahuan praktis.
2. Poietike atau pengetahuan produktif.
3. Theoreitike atau pengetahuan teoritis.
Theorietike selanjutnya juga dibagi atas tiga bagian, yaitu, mathematike (matematika), physike (fisika), dan prote philosophia (filsafat pertama). Kelak, prote philosophia merupakan pengetahuan yang menelaah peradaban yang abadi, tidak berubah, dan terpisah dari materi. Menurut Aristoteles, prote philosophia merupakan ‘leluhur’ dari metafisika.
Peranan Aristoteles terhadap filsafat yang berkaitan dengan ilmu, Aristoteles adalah yang pertama. Ia menciptakan cabang pengetahuan itu dengan melakukan analisis terhadap masalah-masalah tertentu yang timbul dari hubungannya dengan penjelasan ilmiah.
B. Abad Pertengahan
Selama Abad Pertengahan scientia biasanya ditafsir dalam arti kuat ilmu yang dikaitkan dengan episteme. Konon inilah jenis pengetahuan yang dipunyai Alah tentang dunia. Trivium (Gramatika, Retorika, dan Dialektika) dan Quadrivium (Aritmatika, Geometri, Astronomi, dan Musik), di pihak lain, memuat sejumlag studi yang dianggap sebagai ilmu-ilmu dalam arti yang kurang ketat.
C. Abad XVII
Perbincangan filsafat berhulu dari pembicaraan mengenai metodologi ilmiah, metode induktif dari Bacon dan hampiran Deduktif dari Descartes. Francis Bacon menandaskan peranan induksi dalam ilmu. Metode ini bagi Bacon merupakan jalan kebeneran, yan sisi lainnya adalah kegunaan. Ilmu-ilmu tidak mungkin tidak beragam, mencerminkan fakultas-fakultas manusiawi. Misalnya, ilmu alam berawal dari akal, sejarah berasal dari ingatan. Descartes, ilmu tidak mempunyai basis lain selain akal budi. Metode akal budi dapat diterapkan pada problem apa saja. Ilmu bagi Descartes dikaitkan dengan kepastian dan sungguh-sungguh dikaitkan dengan diktum Abad Pertengahan, bahwa ilmu sesungguhnya identik dengan pengetahuan Allah.
D. Abad XVIII
Kaum empiris, rasionalis, dan tafsiran penganut Kant mengenai fisika Newton. Sir Isaac Newton, condong kepada pandangan positivistik mengenai ilmu. Dinyatakannya, hypotheses non fingo (saya tidak menemukan hipotesis-hipotesis). Tekanannya jatuh pada pencarian pola matematis. Imannuel Kant, mengaitkan pengetahuan ilmiah dengan keputusan apriori sintetik. Berdasarkan prinsip-prinsip yang melekat pada kodrat manusia. Keputusan-keputusan demikian berhubungan hanya dengan dunia fenomenal.
E. Awal Abad XIX sampai Perang Dunia I
Pengaruh dari keyakinan Kant dalam rasionalitas khas perpaduan klasik antara Euclid dan Newton.
F. Perbincangan Abad XX
Tanggapan terhadap relativitas, mekanika kuantum, dan perubahan-perubahan mendalam lainnya dalam ilmu-ilmu kealaman; Positivisme Logis lawan Neo-Kantianisme
Dari selintas perkembangan filsafat dan ilmu yang telah diuraikan ternyata sejak zaman Yunani kuno sesungguhnya berkembang tidak hanya dua melainkan empat bidang pengetahuan yaitu, filsafat, ilmu, matematika dan logika. Masing-masing kemudian mengalami perkembangan kearah yang lebih luas.
II. Topik Dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai ruang lingkup dan topik persoalan dari filsafat ilmu dewasa ini, berikut dikutipkan rincian lengkap yang dikemukakan dalam Encyclopedia Britannica, 15 th Edition :
1. Sifat dasar dan lingkupan filsafat ilmu dan hubungannya dengan cabang-cabang ilmu lain; aneka ragam soal dan metoda-metoda hampiran terhadap filsafat ilmu.
2. Perkembangan Historis dari filsafat Ilmu
a. Masa-masa purba dan abad pertengahan: pandangan-pandangan yang silih ganti berbeda dari aliran-aliran kaum Stoic dan Epicorus serta penganut-penganut Plato dan Aristoteles.
b. Abad XVII: perbincangan mengenai metodologi ilmiah; hampiran induktif dari Bacon dan hampiran Deduktif dari Descartes.
c. Abad XVIII: Kaum empiris, rasionalis, dan tafsiran penganut Kant mengenai fisika Newton.
d. Sejak awal abad XIX samapai Perang Dunia I: pengaruh dari keyakinan Kant dalam rasionalitas khas perpaduan klasik antara Euclid dan Newton.
e. Perbincangan abad XX: tanggapan terhadap relativitas, mekanika kuantum, dan perubahanperubahan mendalam lainnya dalam ilmu-ilmu kealaman; Positivisme Logis lawan Neo-Kantianisme
3. Unsur-Unsur Usaha Ilmiah
a. Unsur-unsur empiris, konseptual, dan formal serta tafsiran teoritisnya; aneka ragam pandangan mengenai pentingnya secara relatif dari pengamatan, teori dan perumusan matematis.
b. Prosedur empiris dari ilmu, (a) Pengukuran; teori dan problem filasafati mengenai penentuan hubungan-hubungan kuantitatif, (b) Perancangan percobaan: penerapan logika induktif dan asas-asas teoritis lainnya pada prosedur praktis.
c. Penggolongan: problem taksonomi, (a) Struktur formal ilmu: problem menyusun suatu analisis formal secara murni dari penyimpulan, ilmiah; perbedaan antara dalil ilmiah dan generalisasi empiris, (b) Perubahan konseptual dan perkembangan ilmu: problem kesejarahan mengenai organisasi teoritis dari ilmu yang berubah.
4. Gerakan-gerakan pemikiran ilmiah: prosedur dasar dari perkembangan intelektual dari ilmu.
a. Penemuan ilmiah; kedudukan terujung dari formalisme yang menekankan unsur-unsur rasional dari penemuan ilmiah, dan dari irrasionalisme yang menekankan peranan ilham, perkiraan, dan kebetulan.
b. Pembuktian keabsahan dan pembenaran dari konsep dan teori baru: pandangan bahwa peramalan merupakan ujian yang menentukan dari keabsahan ilmiah; pandangan bahwa pertautan, keajegan, dan keseluruhan merupakan persyaratan penting dari suatu teori ilmiah.
c. Penyatuan teori-teori dan konsep-konsep dari ilmu-ilmu yang terpisah: usaha menyusun suatusystem aksiomatis bagi semua ilmu kealaman; problem penyederhanaan untuk mencapai suatu landasan konseptual yang ajeg bagi dua atau lebih ilmu.
5. Kedudukan filsafati dari teori ilmiah:
a. Kedudukan proposisi ilmiah dan konsep dari entitas: pandangan-pandangan aneka ragam mengenai kedudukan epistemologi dari proporsi ilmiah dan mengenai kedudukan dari konsep ilmiah.
b. Hubungan antara analisis filsafat dan praktek ilmiah: penerapan dari ajaran-ajaran filasafati dan hampiran-hampiran yang berlainan pada ilmu-ilmu yang berbeda.
6. Pentingnya pengetahuan ilmiah bagi bidang-bidang lain dari pengalaman dan soal manusia: kepentingan sosial dari ilmu dan sikap ilmiah; keterbatasan usaha manusia.
7. Hubungan antara ilmu dan pengetahuan humaniora: persoalan tentang perbedaan antara metodologi ilmiah dan metodologi humaniora.
Kutipan rincian lengkap dalam Encyclopedia Britannica, 15 th Edition tersebut merupakan upaya untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang ruang lingkup dan topik filsafat ilmu. Kutipan tersebut diambil karena terjadi banyak ‘kekayaan’ pendapat dari para pemikir untuk memberikan pendapatnya tentang ruang lingkup dan topik filsafat ilmu seperti Peter Angeles , A. Corenelius Benjamin , Arthur C. Danto , Edward H. Madden , Ernest Nagel , P.H. Nidditch , Israel Scheffler , J.J.C. Smart , dan Marx Wartofsky .
III. ILMU KOMUNIKASI DAN DASAR BEKERJANYA
3.1. Ilmu Komunikasi
Untuk memahami komunikasi sebagai ilmu yang mempelajari interaksi sosial manusia dan pernyataan manusia, kita terlebih dahulu perlu mengerti pengertian dan pemahaman ilmu.
Dari segi maknanya pengertian ilmu mencakup 3 hal, yaitu, pengetahuan, aktivitas, dan metode. Para filsuf cenderung terdapat pemahaman bahwa ilmu adalah kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. Pengertian ilmu sebagai Pengetahuan sesuai dengan asal-usul istilah “Science” berasal dari bahasa Latin “Scientia” yang dialihkan dalam bahasa Inggris menjadi to know, to learn. Oleh sebab itu wajar kalau ada makna tambahan dari ilmu sebagai aktivitas yang mengacu pada suatu proses, serangkaian aktivitas yang dilakukan manusia.
Terdapat pula pendapat bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Ada lagi yang berpendapat ilmu adalah suatu cara yang teratur untuk memperoleh pengetahuan dari pada sebagai kumpulan teratur dari pengetahuan. Pemahaman ini sering disebut metode. Akhirnya digambarkan hubungan ketiganya. Aktivitas, metode, dan pengetahuan adalah kesatuan logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan akhirnya aktivitas metodis itu menghasilkan pengetahuan. Kesatuan dari ketiga adalah upaya menyusun ilmu.
Lebih jelas lagi harus dilihat bahwa 3 hal ini mempunyai 3 ciri pokok sebagai :
1. Kegiatan manusia atau proses
2. Sebagai tata tertib tindakan pikiran atau prosedur.
3. Keseluruhan hasil yang dicapai oleh produk yang dinamis dipahami sebagai aktivitas penelitian, metode kerja, dan pengetahuan sistematis.
Dalam Handout Filsafat Komunikasi yang ditulis oleh Betty Soemirat dan Asep Suryana, ilmu komunikasi bisa dideskripsikan sebagai ilmu yang ditinjau berdasarkan objek dari komunikasi, objek material dan objek formal, komponen bentuk pernyataan, dan keragaman posisi. Sebagai ilmu, komunikasi mempelajari interaksi sosial manusia dan pernyataan manusia sebagai aktivitas manusia. Pengetahuan itu kemudian diperoleh dengan cara yang teratur. Sehingga pengertian tentang ilmu komunikasi adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai interaksi sosial dan pernyataan manusia untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan.
3.3. Dasar Bekerjanya Ilmu Komunikasi
Ilmu komunikasi bekerja berdasarkan fakta, pertimbangan objektif, asas analitik, logika deduktif-hipotetik, dan logika induktif-generalisasi. Hal-hal tersebut merupakan ciri-ciri pokok ilmu komunikasi.
a. Fakta
Mengandung makna situasi atau keadaan yang terjadi, apa yang aktual, apa yang ada, dan nyata. Fakta yang dimaksud dalam ilmu komunikasi adalah fakta ilmiah. Fakta dalam ilmu komunikasi berkaitan dengan situasi interaksi manusia dan pernyataan manusia.
b. Pertimbangan objektif
Pertimbangan objektif bermakna pertimbangan yang berhubungan dengan sebuah objek. Dari sisi keilmuan, ilmu komunikasi itu bebas dari prasangka perseorangan.
c. Asas analitik
Ilmu komunikasi bekerja berdasarkan asas analitis. Ini berarti bahwa pengetahuan ilmiah itu berusaha membeda-bedakan pokok soalnya kedalam bagian-bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
d. Logika deduktif-hipotetik
Ilmu komunikasi bekerja atau bersumber dari suatu pandangan umum (general conclusion) ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua buah pertanyaan dan satu kesimpulan. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.
e. Logika induktif generalisasi
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik dari suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Ilmu komunikasi dinyatakan sebagai ilmu yang menarik suatu kesimpulan umum dari berbagai kejadian.
IV. Aspek-Aspek Dasar Filosofis Komunikasi
A. Aspek Ontologis
Dalam aspek ontologis komunikasi, dinyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan terbentuknya ilmu komunikasi, objek yang ditelaah oleh ilmu komunikasi, wujud hakikat dari objek ilmu komunikasi, dan hubungan objek dengan daya tangkap manusia.
Pada ruang objek ilmu komunikasi, yang dibicarakan adalah objek material dan objek formal komunikasi. Objek material komunikasi adalah sifat interaksi sosial manusia. Sedangkan objek formalnya adalah pernyataan antar manusia. Dalam hal ini, aspek ontologis menunjukkan bahwa objek kajian komunikasi berupa produksi dan penyampaian pesan berupa simbol dan isyarat. Mengenai simbol dan isyarat, Ernst Cassirer bahkan mengatakan bahwa simbollah yang membedakan manusia dengan hewan lainnya. Dengan demikian, manusia merupakan homo symbolicum. Maka, secara hakikat, ontologi berbicara tentang perilaku manusia yang terlibat dalam proses komunikasi, media yang digunakan, dan simbol atau isyarat yang digunakan.
Sedangkan jika kita melihat pada hubungan antara objek dan daya tangkap manusia, maka kita akan mendapatkan hubungan interaksi sosial manusia dan pernyataannya dengan daya tangkap manusia. Sesuai dengan persepsi yang diperoleh partisipan komunikasi berdasarkan proses penginderaan, merasa, dan mengolah dengan akal—berpikir—terhadap stimuli yang diterima melalui proses komunikasi.
Pada aspek ontologis juga diperlihatkan bahwa ilmu komunikasi berhubungan dengan sifat interaksi sosial manusia. Hal tersebut menyangkut pada pilihan-pilihan manusia, cara memandang manusia berdasarkan segi keadaan vs ciri pembawaannya, pengalaman manusia sebagai makhluk individu dan sebagai mahluk sosial, kontekstualitas komunikasi, dan interprestasi manusia.
B. Aspek Epistemologis
Pemahaman sederhana atas epistemologis adalah “teori pengetahuan”. Maka, dalam aspek epistemologis komunikasi seperti diterangkan dalam handout mata kuliah Filsafat Komunikasi merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar.
Dalam mencapai idealisasi pengetahuan yang dimaksud, maka aspek epistemologi komunikasi pada dasarnya adalah bagaimana fenomena komunikasi disusun dalam proses yang menggunakan metode ilmiah. Metode yang dimaksud adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematis, dan logis.
Prosedur mendapatkan komunikasi sebagai pengetahuan yang benar dimulai dari proses penalaran dan berpikir. Proses penalaran dan berpikir tentang fenomena komunikasi itu bisa dilakukan dari fenomena khusus ke umum—induktif—atau sebaliknya, dari fenomena yang umum ke fenomena khusus—deduktif. Juga harus diperhatikan tentang keterujian instrumen, validitas, reliabilitas, dan keabsahan data. Dari sini kemudian komunikasi sebagai ilmu mulai bisa disusun secara sistematis, dikelompokkan, dan dicari perbedaan dari persamaan atau sebaliknya.
C. Aspek Aksiologis
Deddy Mulyana dalam Ilmu Komunikasi mengatakan, “komunikasi adalah panasea universal.” Ia menjelaskan bahwa komunikasi bukan obat ajaib untuk mengatasi semua persoalan masyarakat. Komunikasi sekedar alat untuk mencapai tujuan mulia atau pun tujuan jahat. Ini merupakan penjelasan sederhana tentang aspek aksiologi komunikasi.
Aspek aksiologis diterangkan sebagai cara menggunakan ilmu pengetahuan. Jika demikian aspek aksiologi komunikasi berarti menghubungkan komunikasi yang telah disusun secara epistemologis dengan nilai-nilai seperti estetika, etika, atau agama. Aksiologi komunikasi juga berarti menghubungkan ilmu komunikasi dengan upaya penelaahan objek material dan objek formal komunikasi dengan mengindahkan kaidah-kaidah moral keilmuan. Penelaahan terhadap objek ilmu komunikasi tersebut terkait dengan prosedur operasional metode ilmiah. Apakah sesuai dengan nilai-nilai moral atau tidak.
Dalam berbagai diktat kuliah yang saya baca, Thales selalu diterangkan dan diletakkan pada urutan kedua setelah Aristoteles. Padahal Thales dikenal sebagai ilmuwan pertama dalam tradisi keilmuan di dunia dan dikenal sebagai Bapak Filsafat. Maka pada paper ujian tengah semester ini saya mengikhtiarkan untuk meletakkan posisi Thales pada urutan pertama, sebelum Phytagoras, Plato, dan Aristoteles.
2Wisma Pandia, Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia. Diunduh pada 1 September 2008.
3Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 312.
4Ibid., hlm.312
5Ibid., hlm.312-313
6The New Encyclopedia Britannica ; Propaedia: Outline of Knowledge and Guide to the Britannica, 15th Edition, 1982, Part Ten, Division III, Section 10/31, p. 728-9.
7Peter A. Angeles, Dictionary of Philosophy, 1981, p. 250., dalam Wisma Pandia, Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia. Diunduh pada 1 September 2008.
8A. Cornelius Benjamin, “Science, philosophy of”, dalam Dictionary of Philosophy, Dagobert D. Runes, ed., 1975 Edition, p.284-285., Ibid., Wisma Pandia.
9Arthur C. Danto, “ Problem of Philosophy Science”, dalam Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, Volume6, 1967, p. 296-7., Ibid., Wisma Pandia.
10Edward H. Madden,” Pierce and Current Issues in the Philosophy of Science”, dalam Raymond Klibansky, ed., Contemporary Philosophy: A Suevey, Volume II, 1968, p. 31., Ibid., Wisma Pandia.
11Ernest nagel, the Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explanation, 1974, p. 14., Ibid., Wisma Pandia.
12P. H. Nidditch, ed., The Philosophy of Science, 1971, Introduction, p.2., Ibid., Wisma Pandia.
13Israel Scheffler, The anatomy of Inquiry: Philosophical Studies in The Theory of Science, 1969, p. 3 Ibid., Wisma Pandia.
14J.J.C. Smart, Between Science and Philosophy: An Introduction to the Philosophy of Science, 1968, p. 5 Ibid., Wisma Pandia.
15Marx W. wartofsky, ed., Boston Studies in Philosophy of Science, 1963, Preface, p. VII.
16Wisma Pandia, Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia. Diunduh pada 1 September 2008 Ibid., Wisma Pandia.
17Ibid
18Betty Soemirat dan Asep Suryana, Hand Out Filsafat Komunikasi, 2008.
19Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 225
20Ibid., hlm. 732
21Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Abadi, Bandung, 2003, hlm.369.
22Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2007, hlm.92.
23Betty Soemirat dan Asep Suryana, Hand Out Filsafat Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung, Agustus 2008.
24Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 212
25Op.cit., Betty Soemirat dan Asep Suryana.
26Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Abadi, Bandung, 2003, hlm. 324.
27Wisma Pandia, Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia. Diunduh pada 1 September 2008.
28Op.cit., Betty Soemirat dan Asep Suryana.
29Op.cit., Deddy Mulyana, hlm. xi.
30Ibid., Deddy Mulyana, hlm. xi.
31Op.cit., Onong Uchjana Effendi, hlm. 326.
32Op.cit., Betty Soemirat dan Asep Suryana.
DAFTAR PUSTAKA
Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Abadi, Bandung, 2003, hlm. 324.
Wisma Pandia, Diktat Kuliah Sekolah Tinggi Teologi Injili Philadelphia. Diunduh pada 1 September 2008.
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2007, hlm.92.
Betty Soemirat dan Asep Suryana, Hand Out Filsafat Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung, Agustus 2008.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 212
Tidak ada komentar:
Posting Komentar