Penentuan diagnosis epilepsi dengan tepat akan sangat menentukan prognosis. Ada berbagai jenis epilepsi dan sindrom epilepsi yang tidak mudah dalam diagnosa maupun pengobatannya.
Kejang merupakan gangguan neurologi yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Insiden kejang mencapai sekitar 5-8% dan 3% dari seluruh kejadian kejang merupakan kasus epilepsi. Penyakit saraf ini merupakan masalah umum yang sering ditemui di tahun pertama kehidupan seorang anak.
Menurut Dr. Iskandar Syarif SpA(K), spesialis neurologi anak dari FK Universitas Andalas, Padang, tidak semua kejang merupakan gejala epilepsi. Perlu dibedakan antara kejang dan epilepsi. “Kejang atau seizure merupakan gangguan fungsi otak yang bersifat sementara akibat hyper-synchronous atau pelepasan neuron-neuron kortikal yang berlebihan. Sedangkan epilepsi merupakan suatu kondisi yang dikarakteristikan dengan kejang epileptik berulang, tanpa provokasi oleh penyebab apapun yang teridentifikasi,” jelas Iskandar dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-3 Ilmu Kesehatan Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia (PIT IKA IDAI) yang berlangsung di Yogyakarta, 6-9 Mei 2007.
Namun bila dalam praktik klinis ditemukan pasien dengan riwayat kejang berulang, maka menurut Iskandar, perlu dipikirkan kemungkinan epilepsi. Kejang yang sangat khas seperti tonik klonik biasanya tidak akan lolos dari kesalahan diagnosa. Namun penegakan diagnosis epilepsi bisa diperkuat dengan pemeriksaan EEG meskipun tidak semua epilepsi memiliki gambaran kelainan EEG.
Di tempat yang sama, Dr. Nelly Amalia SpA(K) memaparkan tentang sindrom epilepsi. Untuk mendiagnosa sindrom epilepsi, dibutuhkan keahlian khusus karena sindrom ini memang bermacam-macam jenisnya, misalnya spesialis anak yang khusus mendalami saraf. ”Kalau menemukan kasus sindrom memang perlu dirujuk, karena pengobatannya lebih kompleks,” ujar spesialis anak dari RS Hasan Sadikin, Bandung, ini.
Sejak tahun 1981 ILAE (International League Against Epilepsy) sudah membuat klasifikasi epilepsi berdasarkan bentuk kejangnya, yaitu kejang parsial dan general. Tahun 1989, komisi ini membuat klasifikasi baru berdasarkan tipe bangkitan dan sindrom epilepsi. Dari sinilah kemudian muncul berbagai jenis sindrom epilepsi. Sindrom epilepsi, tambah Nelly, memiliki diagnosa lebih spesifik dan lebih detil sehingga lebih jelas prognosisnya. ”Dengan adanya klasifikasi sindrom, kita bisa lebih tepat menentukan jenis pengobatan dan prognosisnya juga lebih baik. Karena tidak semua jenis sindrom epilepsi bisa disembuhkan. Ada kasus-kasus yang cukup sulit ditangani.”
Meskipun diagnosis sindrom epilepsi tidak mudah dan tidak bisa ditentukan saat itu juga karena harus melihat hasil pemeriksaan EEG, MRI, atau pemeriksaan genetik, bukan berarti obat tidak bisa diberikan. Nelly menganjurkan terapi dilakukan berdasarkan bentuk kejangnya (general atau parsial) sebelum diagnosis sindrom ditegakkan.
Berbagai jenis sindrom epilepsi
Sebenarnya banyak kasus sindrom epilepsi di Indonesia, tetapi banyak yang tidak terdeteksi. Selain terbatasnya sarana seperti EEG dan MRI, juga keterbatasan dokter spesialis anak yang memiliki kemampuan mendiagnosa sindrom. Maka, menurut Nelly, dokter umum atau spesialis anak yang tidak khusus mendalami epilepsi sebaiknya merujuk kasus sindrom epilepsi kepada dokter spesialis saraf anak.
Kapan diputuskan merujuk? Pertanyaan ini juga menjadi salah satu pertanyaan peserta simposium yang hadir. Menurut Nelly, setelah dicoba dengan satu jenis obat gagal, sebaiknya dirujuk. ”Karena lebih kecil kemungkinan obat kedua lebih baik dari obat pertama. Untuk kasus sindrom biasanya dilakukan kombinasi terapi, dan pemberian politerapi ini tidak mudah,” jelas Nelly.
Atau kalau memang sudah diduga bahwa kasus yang ditemui memang sindrom maka sebaiknya dirujuk. Ada beberapa jenis sindrom epilepsi yang dikenal , di antaranya:
Absence Epilepsy
Dulu sindrom ini disebut petit mal epilepsy atau epilespi lena. Tetapi sekarang sering disebut dengan absense/absans saja. Onset atau awitan biasanya dimulai pada usia awal sekolah, sekitar 5-7 tahun dengan kasus lebih sering ditemukan pada anak perempuan. Sindrom ini merupakan kasus tersering, mencapai 2-8% dari semua kasus. Termasuk jenis epilepsi idiopatik, artinya ada riwayat keluarga. Anak dengan sindrom jenis ini memiliki tingkat intelegensi (IQ) normal.
Salah satu ciri sindrom ini adalah frekuensi serangan absanse-nya sangat sering, dalam satu periode bisa 10 kali. Anak tampak tidak sadar atau tampak seperti melamun. Dari pemeriksaan EEG tampak gambaran yang sangat khas, 3 Hz atau 3 siklus per detik. Kejang pada sindrom ini bisa diprovokasi oleh hiperventilasi. ”Jadi kalau ada riwayat anak lena coba dilakukan provokasi dengan menyuruh meniup-niup atau hiperventilasi biasanya gejala sindromnya akan muncul,” jelas Nelly.
Secara umum, remisi sindrom absence epilepsy baik. 80% gejala akan hilang saat dewasa. Namun 20-40% akan berkembang menjadi generalized tonic-clonic seizure saat dewasa. Obat lini pertama untuk sindrom ini adalah valproate. Yang harus diperhatikan, pesan Nelly, adalah beberapa obat yang bisa memperburuk kejang seperti carbamazepine, phenytoin atau gabapentin.
Epilepsi dengan generalized tonic-clonic seizure
Sindrom ini memiliki rentang onset yang panjang, mulai usia 5 hingga 25 tahun. Tipe kejangnya adalah general tonik klonik seizure. Prognosis sangat baik dan sangat responsif dengan valproate, carbamazepine, fenobarbital, maupun topiramate. Kejang ini biasanya sangat menakutkan untuk orangtua. Biasanya setelah kejang anak tertidur lemas. Namun meski menakutkan, sindrom ini cukup baik terhadap pengobatan.
Juvenile Myoclonic epilepsy
Ini termasuk sindrom yang sulit. Onset mulai 12-16 tahun. Jenis ini juga termasuk epilepsi idiopatik. Kasusnya mencapai 5-10% dari seluruh kasus. Gejala khasnya adalah gerakan mioklonik seperti terkejut pada saat bangun tidur yang diikuti kejang general tonik klonik. Mioklonok ini dipicu oleh kelelahan, gangguan tidur atau pengaruh alkohol.
Manajemen epilepsi jenis ini adalah mengubah lifestyle. Pengobatan paling efektif dengan valproate. ”Lamotrigine juga efektif tetapi biasanya dikombinasi dengan valproate karena valproate sangat efektif untuk kejang mioklonik,” jelas Nelly yang tergabung dalam ahli saraf anak. Kondisi epilepsi jenis ini merupakan kondisi seumur hidup. Artinya, kejang kembali datang dalam hitungan minggu atau bulan bila pengobatan dihentikan.
Lennox-Gastaut Syndrome
Sindrom ini juga termasuk yang sulit ditangani. Lennox-Gastaut Syndrome termasuk dalam bentuk epilepsi general yang simtomatik dengan prevalensi sekitar 2-3% dari seluruh kasus epilepsi. Puncak onset terjadi di usia 3-5 tahun.
Secara umum sindrom ini berkaitan dengan tipe kejang yang multipel. Tetapi yang paling khas adalah adanya axial tonic seizure yang menyebabkan cedera. Sedangkan kejang atypical absence , atonic atau drop attack serta kejang mioklonik dan tonik klonik, juga bisa ditemui. Hasil EEG secara umum lambat (<>
Prognosis sindrom ini juga sangat buruk, lebih dari 80% tidak bisa disembuhkan. Untuk mengatasi sindrom ini diperlukan politerapi yaitu kombinasi topiramate, lamotrigine dan valproate.
West syndrome
Sindrom ini sering juga disebut infantile spasms. West Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan cryptogenik. Jenis simptomatik disebabkan karena ada kelainan neurologis sebelumnya. Sedangkan jenis cryptogenic tidak diketahui penyebabnya.
Jenis spasmenya adalah berkelompok (kluster) dan dalam satu kluster bisa mencapai 125 spasme. Biasanya gejala timbul setelah bangun tidur. Pada saat terjadi spasme biasanya anak menangis dan spasme ini bisa terus berlangsung. Gambaran EEG sangat tidak beraturan.
Pengobatan infantile spasms sampai saat ini belum memuaskan. ACTH diyakini lebih efektif dibandingkan penggunaan kortikosteroid sehingga rekomendasi lini pertama adalah ACTH sedini mungkin. Namun efek samping ACTH harus diwaspadai. Sedangkan melalui penelitian, topiramate cukup efektif untuk monoterapi pada anak di atas 2 tahun.
Pilihan Obat Anti Kejang
Karena mendiagnosis sindrom epilepsi tidak mudah, Nelly memberikan tips mudah untuk mendiagnosa. Langkah pertama adalah meyakinkan apakah gejala yang dialami pasien benar-benar kejang atau hanya perilaku mirip kejang. Bila sudah yakin itu merupakan kejang atau epilepsi, baru ditentukan anamnesa teliti apakah bentuk epilepsinya kejang fokal atau parsial. Sedangkan langkah terakhir adalah memilih obat yang sesuai untuk kejang fokal atau parsial. Bila jenis epilepsi belum bisa ditegakkan, maka obat yang paling bisa dipilih adalah obat anti kejang spektrum luas, misalnya valproate atau topiramate, walaupun topiramate tidak bisa dipergunakan untuk semua tipe epilepsi.
Iskandar sedikit menyoroti tentang banyaknya obat anti kejang tersedia saat ini. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jenis obat anti kejang, seperti usia anak, jenis epilepsi yang spesifik, dan kemampuan finansial. ”Kita di daerah dalam memilih obat sangat tergantung kemampuan keluarga pasien. Obat anti kejang yang relatif baru masih diangap mahal. Kadang-kadag saya masih menggunakan obat lama karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan risiko efek samping lebih besar. Misalnya luminal yang membuat sebagian pasien menjadi hiperaktif,” jelas Iskandar. Untunglah Valproate yang lebih minimal efek sampingnya sudah bisa didapatkan melalui fasilitas Askes dan Askeskin yang dikenal sebagai Depakene atau Depakote ER.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar