Sabtu, 26 Desember 2009

KASUS KESEHATAN AKIBAT KRISIS KOMUNIKASI

by: bidan foka

Beberapa bulan terakhir ini, berbagai media kerap memberitakan tentang kasus mal praktek yang terjadi di rumah sakit, beberapa kasus karena kelalaian tenaga kesehatan dan tidak sedikit kasus tersebut mencuat karena krisis dan kurangnya komunikasi. Berikut adalah tinjauan dari kasus-kasus yang terkait dengan kurangnya komunikasi.


a. Kasus I
Kasus Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga beranak dua, yang menghadapi masalah karena tuduhan pencemaran nama baik atas Rumah Sakit Omni International, menarik untuk dicermati dari segi hubungan masyarakat antara institusi/lembaga/perusahaan dan masyarakat umum/pelanggan. Prita saat ini masih menjadi tahanan kota, menunggu hasil keputusan pengadilan atas tuntutan rumah sakit Omni International terhadap surat elektronik/e-mail Prita yang ia kirim ke beberapa temannya yang kemudian menyebar ke beberapa milis. Surat itu tak lain adalah bentuk keluhan Prita atas kualitas pelayanan rumah sakit Omni yang buruk. Tuntutan pencemaran nama baik muncul ketika institusi sering kali merasa dirugikan reputasinya.

Kasus Prita dapat dikategorikan sebagai krisis komunikasi dan reputasi. Dari segi hubungan masyarakat/public relations, langkah-langkah yang diambil oleh rumah sakit Omni International adalah kesalahan fatal. Langkah-langkah hukum yang diambil, keterlibatan polisi dan kejaksaan, justru akan membunuh bisnis rumah sakit Omni daripada memperbaiki dan melindungi reputasi serta bisnis rumah sakit ini. Jika memang ada proses komunikasi yang berjalan baik di rumah sakit itu, kasus semacam Prita ini justru bisa menjadikan poin penting untuk membangun ikon kebesaran rumah sakit tersebut. Biayanya tentu jauh lebih murah daripada beriklan.
Sejak awal harusnya ada pola yang memungkinkan pimpinan rumah sakit melihat bahwa Prita bisa menjadi sumber kebaikan dari rumah sakit tersebut.

Tetapi ini memang tidak mudah karena diperlukan kecerdasan Public Relation, sebuah kecerdasan yang dihasilkan dari pikiran-pikiran menyamping yang berpikir menyamping dan out of the box sehingga memungkinkan mengubah ancaman jadi peluang dan memecahkan masalah yang paling pelik pun. Ujungnya tentu saja melindungi citra perusahaan dari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Bahkan sebelum memutuskan untuk mengambil jalan hukum, harusnya rumah sakit melakukan mapping intelligent tentang siapa Prita dan paham impact yang akan ditimbulkannya jika mengambil langkah hukum. Bila fungsi publik relation berjalan, yang akan terjadi selanjutnya adalah melakukan lokalisasi persoalan agar tidak sampai membuat citra atau nama baik perusahaan terancam. Karena itu, perlu melakukan langkah-langkah teknis, misalnya mulai dari content analysis, mapping opinion sampai way out yang harus dijalankan.

Dibutuhkan latihan untuk mengenali ancaman krisis komunikasi. Dalam aplikasinya, seorang yang mengendalikan fungsi komunikasi seharusnya adalah orang-orang yang sangat paham dengan media, punya keahlian komunikasi, paham tentang psikologi, dan awas terhadap perubahan mendadak di lingkungannya. Konsultan komunikasi sama pentingnya dengan konsultan hukum, tetapi belum banyak yang menyadari itu.

b. Kasus II
Beberapa waktu lalu saya melihat pelayanan kesehatan yang buruk di sebuah rumah sakit. Saat itu anak saya dirawat karena menderita tifus Di ruang yang sama, dirawat pula seorang anak dengan kasus demam berdarah. Kondisi anak itu parah. Napasnya terputus- putus dan bibirnya membiru, walau selang oksigen terpasang di hidungnya. Tentu saja keluarganya sangat panik. Sayangnya, tak satu pun petugas datang untuk memeriksa. Saya lalu mencoba mencari perawat di ruang suster. Saya melihat seorang perawat sedang berbicara di telepon. Ketika saya menyampaikan kondisi anak itu, dengan gampangnya ia mengatakan bahwa pasien tersebut bukan tanggung jawabnya. Setiap perawat menurutnya, sudah punya tanggungjawab masing-masing. Saat itu perawat yang mengurus pasien kritis ini sedang keluar ruangan. Dengan kesal saya kembali ke ruang perawatan. Ternyata anak itu sudah meninggal tanpa pertolongan petugas. Dokter pun baru datang 30 menit setelah pasien menghembuskan napas terakhir. Ia hanya menyatakan bahwa anak itu memang sudah meninggal. Saya yang merasa sebagai bagian dari keluarga itu (karena sama-sama satu ruangan), sangat menyesalkan kejadian itu. Apakah rumah sakit tersebut bisa dituntut? Apakah kematian karena petugas rumah sakit menelantarkan pasien harus didiamkan saja?".

Kejadian yang menimpa pasien diatas sangat memprihatinkan terkait buruknya pelayanan kesehatan yang diterima pasien tersebut. Apalagi keluarganya telah menaruh kepercayaan kepada petugas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan yang diharapkan. Tetapi, perbuatan paramedis tersebut malah cenderung tidak memenuhi harapan. Sarana kesehatan, seperti rumah sakit yang memberikan pelayanan rawat jalan atau rawat inap, memiliki standar pelayanan tertentu. Standar itu menjadi acuan bagi para personel rumah sakit, baik medis (dokter) atau paramedis (perawat, petugas laboratorium, apotek dll), yang berkontribusi satu sama lain. Penetapan standar tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan yang memadai dan bermutu. Dengan begitu derajat kesehatan yang diharapkan bisa tercapai.
Pelayanan kesehatan diberikan melalui bentuk pengobatan dan perawatan. Petugas kesehatan, medis dan nonmedis, bertanggungjawab untuk memberi pelayanan yang optimal. Salah satu bentuk tanggungjawab petugas kesehatan yaitu tidak menelantarkan pasien. Penelantaran dapat berakibat buruk terhadap keselamatan dan kesehatan pasien. Terlebih lagi bila hal tersebut terjadi pada pasien yang perlu pemantauan dan perawatan intensif.

Pasien adalah konsumen yang berhak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan pelayanan kesehatan. Adalah hak pasien untuk menuntut petugas kesehatan agar memberi pelayanan yang profesional dan bertanggung jawab.

Kasus diatas juga memperlihatkan kurangnya komunikasi dan kerja sama yang profesional antara perawat dan dokter. Serta tidak adanya komunikasi yang baik antara paramedis/perawat dan pasiennya. Tidak seharusnya perawat memberikan informasi yang membingungkan dan menelantarkan pasien dalam kondisi yang kurang baik, meskipun pada saat tersebut, bukanlah tanggung jawabnya. Krisis komunikasi banyak terjadi pada saat ini, sehingga tidak sedikit kasus mal praktek terjadi akibat kurangnya komunikasi.

Paramedis mempunyai andil yang sangat strategis dalam berhubungan dengan pasien, sehingga komunikasi yang baik merupakan kewajiban bagi setiap tenaga kesehatan, khususnya paramedis. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, masyarakat khususnya pasien sebagai konsumen kesehatan, memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggungjawab.Konsumen kesehatan/pasien berhak atas keselamatan, keamanan, den kenyamanan terhadap pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan hak tersebut, konsumen akan terlindungi dari praktik profesi yang mengancam keselamatan atau kesehatan. Hak pasien yang lain adalah mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan yang diterima tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat menyampaikan keluhannya kepada pihak RS sebagai upaya perbaikan interen RS dalam pelayanannya atau kepada lembaga yang memberi perhatian kepada konsumen kesehatan.

Deva Rachman http://www.ahmadheryawan.com Wdjajarta. Meninggal gara-gara ditelantarkan petugas rumah sakit. Diunduh dari Kompas cyber media www.kompas.com tgl: 1 Juni 2009. http://www.chsrf.ca/knowledge_transfer/images/Communication.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar