Oleh: Afiana Rohmani Abdul Kohar
Saat anak pertama saya lahir, yang ada dalam benak saya dan suami adalah kebahagiaan yang tiada tara. Fikri lahir sebagai bayi mungil yang lucu, tampan, juga sehat. Di mataku, anak laki-laki mungilku nyaris sempurna.
Namun saya sempat merasa bimbang, Fikri hampir tak pernah menangis di hari-hari pertama kelahirannya. Dia menghabiskan waktunya dengan tidur, kecuali saat mandi dan ganti popok. Bahkan untuk minum ASI pun harus saya bangunkan. Pernah setumpuk baskom jatuh tepat di depan kamar tidurnya dan menimbulkan suara keras, namun dia tetap tertidur pulas. Tak pernah saya bercanda dengannya, mendengar tangisnya atau ocehannya. Waktu itu saya menghibur diri, mungkin karena saya tinggal di Solo dengan udara yang sejuk dan lingkungannya nyaman.
Saat Fikri berumur satu bulan, saya pindah ke Semarang. Hari pertama di Semarang, Fikri mampu menangis keras. Hingga hari-hari berikutnya dia tak lagi menghabiskan waktu untuk tidur sepanjang hari. Dia mampu mengangkat kepala, tengkurap, mengoceh dan sebagainya. Saya pun sedikit lega.
Jelang usianya yang pertama, Fikri mampu berjalan tanpa berpegangan. Badannya pun gemuk, sehat, kulitnya putih bersih, wajahnya semakin kelihatan tampan, siapapun pasti gemas melihatnya. Namun kembali saya dibuat bimbang, tingkah laku Fikri sedikit berbeda dengan anak satu tahun kebanyakan. Dia tidak menoleh sedikitpun ketika dipanggil, padahal dia bisa mendengar. Matanya tidak pernah fokus terhadap sesuatu, tidak ada kontak mata. Dia seperti berada dalam dunianya sendiri. Tanda-tanda anak autis ada pada diri Fikri. Kebimbangan semakin merayapi benakku.
Vonis Autisme
Sempat saya menepis kegundahan hati, Fikri baru berusia satu tahun, terlalu dini jika memberi diagnosis dia autis atau bukan. Namun saat berusia dua tahun, gejala-gejala itu semakin jelas. Tingkah laku Fikri semakin hiperaktif, tubuhnya bagaikan dikendalikan oleh mesin dia seperti tak punya rasa lelah. Diperparah pula dia belum bisa mengucap kata satu pun. Padahal seumuran itu paling tidak harus sudah bisa menyusun dua kata.
Saya membawa Fikri ke dokter spesialis ahli pediatrik. Dokter menyatakan Fikri mengalami gangguan perkembangan. Sang dokter curiga Fikri adalah penyandang autis, beliau pun menyarankan kami mendatangi tempat rehabilitasi anak untuk observasi dan terapi. Tak puas dengan pernyataan dokter tersebut, saya pergi ke ahli pediatrik lain yang lebih senior. Kali ini dokter langsung memberi vonis Fikri positif autis. Apa yang saya takutkan terjadi.
Hampir setiap malam saya menangis di samping tubuh mungil Fikri yang sedang tertidur pulas. Saya menyesali diri sendiri. Hampir saya menyalahkan Tuhan. Kenapa harus Fikri? Kenapa harus anakku? Semua teori ilmu tentang bagaimana mendidik dan mengasuh anak yang selalu saya pelajari semenjak saya hamil sia-sia. Semua harapan dan mimpi-mimpi indahku untuk memiliki anak yang membanggakan terhapus. Fikri bagaikan mutiaraku yang hilang.
Saya Bangkit Dari Kesedihan
Beberapa hari saya sempat mengalami masa-masa shock yang luar biasa. Namun kemudian saya sadar, saya harus berbuat sesuatu untuk kesembuhan Fikri. Kembali saya dan suami mendatangi ahli pediatrik. Sekali lagi dokter pediatrik menyatakan Fikri adalah pengidap autis namun masih dalam taraf ringan. Kami pun membawa Fikri ke rehabilitasi anak yayasan Talitakum. Di sana adalah tempat anak-anak berkebutuhan khusus diterapi dan bersekolah.
Menurut ahli terapi di sana Fikri bukan menyandang Autism tetapi ADHD atau Attention Deficit Hiperaktif Disorder (gangguan perhatian dengan gangguan perilaku hiperaktif). ADHD dan autism memiliki gejala yang hampir sama. Pada anak ADHD memiliki gejala hiperaktif yang lebih menonjol daripada autism. Entah apapun label yang diberikan pada Fikri, saya ingin Fikri segera sembuh menjadi anak normal. Fikri pun melakukan terapi 4 kali dalam seminggu.
Di rumah, saya harus meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama Fikri. Apa yang Fikri pelajari di tempat terapi saya terapkan di rumah. Saya buat kartu-kartu bergambar, puzzle, saya beli balok-balokan dan mainan edukatif lain yang tak saya pedulikan harganya. Setiap hari ingin saya ajak Fikri menatapku, berbicara, bernyanyi, bermain, menatap dunia, supaya dia terbangun dari dunianya sendiri.
Selain itu, Fikri harus diet makanan yang mengandung gluten dan kasein, atau tidak boleh mengonsumsi gandum, susu sapi dan olahannya. Termasuk makanan yang mengandung pengawet atau penyedap. Hal ini juga menjadi tantangan yang tak mudah, karena kebanyakan jajanan dan snack ringan berasal dari bahan-bahan tersebut. Untuk kebutuhan susu, Fikri mengonsumsi susu kedelai yang setiap hari saya buat sendiri, karena susu kedelai buatan pabrik harganya sangatlah mahal. Untung Fikri mau meminum susu kedelai buatanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar