Sabtu, 30 Juni 2012

Alergi Pada Anak


Tania sekarang berusia 1,1 tahun dan ketika usianya menginjak 4 bulan, ia mulai mengalami gangguan. Ketika itu, sang ibu yang bernama Dita air susunya mulai berkurang sehingga memutuskan untuk memberikan susu pengganti dari susu sapi. Namun, setelah seminggu memberikan susu itu, secara mendadak di kulit anaknya muncul semacam ruam, terutamanya pada bagian muka bayi.


Ruam yang muncul semakin hari semakin tambah banyak. Selain itu, bintik-bintik juga muncul di daerah kaki dan tangan. Kondisi ini ternyata sangat mengganggu bayi sehingga menjadi sering rewel.

“Setelah diperiksa, menurut dokter, bayi saya alergi susu sapi dan disarankan mengganti susu dengan jenis hipoalergenik,” katanya. Sedangkan untuk gangguan kulit yang muncul di tangan dan kaki disebabkan oleh alergi panas.

“Bayi biasanya dijemur untuk mendapatkan sinar matahari untuk pertumbuhan. Tania justru alergi dan sejak itu tak pernah dijemur lagi,” kata Dita. Putri pertama Dita yang bernama Amel berumur 7 tahun, Amel sendiri mengalami alergi debu, bahkan akhir-akhir ini telah berkembang menjadi asma. “Sepertinya turunan dari saya. Nenek mereka atau ibu saya juga alergi debu,” katanya. Keluarganya sendiri mempunyai dokter keluarga yang sudah memahami rekam jejak kesehatan dari keluarganya. “Saya yakin alergi bisa ditangani,” katanya.

Saran dari dokter setelah Tania memasuki usia setahun ialah susu yang dikonsumsi dicampur dengan susu sapi biasa. Susu hipoalergenik dapat ditinggalkan setelah ruam yang ada benar-benar hilang. Sedangkan untuk alergi panas dan juga debu, Dita mencoba untuk menjauhkan pemicu munculnya alergi itu dari anak-anaknya.

Kasus Semakin Banyak

Alergi adalah menyimpangnya reaksi kekebalan tubuh dari keadaan yang normal terhadap zat dari luar tubuh atau rangsangan dan dapat menyebabkan suatu gejala yang akan merugikan tubuh. Antara lain gejala yang sering muncul, seperti muntah, diare berlanjut yang diikuti darah, dermatitis atopik, seperti gatal dan bintik merah, adanya gangguan pernapasan seperti asma dan batuk berulang. Bila tidak segera diobati, alergi dapat mengganggu pertumbuhan anak dan bahkan bisa lebih parah, seperti terkena asma.

Diperkirakan dimasa yang akan datang jumlah dari anak-anak yang mengalami alergi seperti Tania dan Amel akan semakin banyak. Seorang dokter anak dari Maximilians University Munich, dr Sibylle Koletzko mengatakan telah terjadi peningkatan angka kejadian yang disebabkan faktor genetik, imunologi dan lingkungan.

Sebuah Negara semakin mengalami perkembangan dan penyakit infeksi akan semakin berkurang tetapi berbanding terbalik dengan kasus alergi karena semakin meningkat. Faktor genetik tidak banyak mengalami perubahan, sehingga diprediksi penyebabnya dari faktor-faktor lain.

Masih banyak misteri yang tersimpan pada alergi. Ada satu dugaan yang muncul yaitu sistem kekebalan tubuh atau sistem imun tidak siap untuk menghadapi hal-hal yang berasal dari luar yang dianggap dapat memberikan ancaman, bahkan untuk ancaman yang paling lemah dari serbuk sari. Semakin baiknya kebersihan akan menyebabkan tubuh semakin sensitif.

Negara di kawasan Eropa sudah lebih dulu mengalami tren tersebut. Di Eropa tengah, alergi pada anak cenderung lebih meningkat. Pada tahun 1973 asam bronkial sekitar 4%, kemudian pada tahun 1996 mengalami peningkatan menjadi 21%. Pada setiap Negara bisa mempunyai pola alergi yang berbeda-beda.

Kasus alergi di Indonesa sudah mulai tinggi. Menurut Zakiudin Munasir yang bertugas di Divisi Alergi dan Imunologi Klinik Departemen Kesehatan Anak FKUI, mengatakan bahwa prevelansi dermatitis atopic mencapai hingga 24,6%.

Hanya anak yang mempunyai bakat alergi atau atopik yang akan terkena penyakit alergi. Bakat alergi ini merupakan bakat keturunan, biasanya diturunkan dari salah satu atau kedua orangtua. Sibylle menjelaskan, risiko tertinggi dapat saja terjadi jika kedua orangtua beserta satu saudara kandung mengalami alergi, risiko yang terjadi dapat mencapai 85%. Disamping itu ada faktor risiko lain, seperti merokok, polusi, tidak memperoleh ASI dan diet.

Biasanya alergi makanan serta eksim akan lebih dominan ketika usia antara 0-6 bulan dan usia 0-1 tahun. Untuk asma, angka kejadiannya menjadi tinggi setelah usianya menginjak 3 tahun dan untuk puncaknya paada usia antara 7-15 tahun. Sedangkan untuk alergi hidung gatal dan ingusan atau rhinitis pada usia 15 tahun merupakan prevalensi tertinggi.

Terdapat berbagai jenis allergen, mulai dari makanan, balsem, binatang, tungau, obat, dan lebah. Alergi susu sapi adalah salah satu alergi yang paling sering dijumpai. Data yang diambil dari Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, menunjukkan bahwa 4% alergi susu yang dialami oleh anak adalah kasus alergi. Bahkan, sekitar 30-45% anak mengalami dermatitis atopik atau radang kulit disebabkan oleh alergi susu sapi.

Untuk jenis makanan yang paling sering menyebabkan alergi ialah ikan, kacang, telur, dan udang. Uji kulit yang dilakukan oleh Poli Alergi Imunologi FKUI-RSCM dengan melibatkan 69 anak asma menunjukkan, sekitar 26,56% alergi dengan cokelat, 37% alergi dengan udang kecil, 45,31% alergi dengan kepiting. Selain itu, alergi juga dapat timbul oleh bahan aditif, seperti bumbu dan juga bahan sintetis, yang tergolong bahan sintetis seperti benzoat atau pengawet, pewarna dan penyedap.

Sibylle mengatakan, “Terutama untuk alergi terhadap makanan. Diagnosis yang terlalu longgar atau berlebihan tidak baik. Jika terlalu longgar, anak akan terus-terusan menderita berbagai gangguan. Sebaliknya, diagnosis yang berlebihan akan membatasi konsumsi makanan anak sehingga mengganggu tumbuh kembangnya.”

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi alergi pada anak adalah dengan menghindari makanan yang dapat memicu alergi dan jangan pernah mencoba makanan tersebut. Terkadang ada beberapa orangtua yang dengan sengaja memberikan makanan pencetus alergi dengan maksud agar anaknya terbiasa dan semakin toleran terhadap makanan tersebut, sehingga alergi tidak muncul lagi. Namun, cara demikian bisa berubah menjadi boomerang untuk anak karena terpicunya alergi bisa membahayakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar