Senin, 26 September 2011

KONSUMSI JAMU SAAT HAMIL, AMANKAH UNTUK JANIN ?

Dewasa ini pengobatan tradisional mengalami peningkatan yang cukup signifikan, orang lebih banyak memanfaatkan sesuatu yang alami sebagai cara pengobatan untuk memperoleh kesehatan, meningkatkan maupun menjaga kesehatan dibandingkan dengan pengobatan modern yang menggunakan bahan kimiawi. Tapi jangan salah, pengobatan tradisional bukan tanpa efek samping, justru karena belum terstandarisasi, pemanfaatan obat tradisional harus sesuai dengan anjuran terlebih untuk penggunaan rutin khususnya oleh wanita hamil.

Pengobatan tradisional pada dasarnya bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebugaran jasmani. Menurut Undang-Undang Kesehatan no 23. tahun 1992 obat tradisional adalah obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan-bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan berdasarkan pengalaman. Pada kenyataannya bahan obat alam yang berasal dari tumbuhan porsinya lebih besar dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral, sehingga sebutan obat tradisional (OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat (TO).

Dari definisi Obat tradisional yang telah direkomendasikan Depkes terdapat kalimat ”... yang secara turun temurun digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman”. Pada kata ’ secara turun temurun’ tersirat makna bahwa segala aspeknya (jenis bahan, cara menyiapkan, takaran serta waktu penggunaan) harus sesuai dengan warisan turun temurun sejak nenek moyang kita. Penyimpangan terhadap salah satu aspek kemungkinan dapat menyebabkan ramuan obat tradisional tersebut yang awalnya aman menjadi tidak aman atau berbahaya bagi kesehatan.

Disamping itu perlu disadari pula bahwa memang ada bahan ramuan obat tradisional yang baru diketahui berbahaya, setelah melewati beragam penelitian, demikian juga adanya ramuan bahan-bahan yang bersifat keras dan jarang digunakan selain untuk penyakit-penyakit tertentu dengan cara tertentu pula. Walaupun demikian efek samping Tanaman Obat/Obat Tradisional tentu tidak bisa disamakan dengan efek samping obat modern. Pada Tanaman Obat/Obat Tradisional terdapat suatu mekanisme yang disebut-sebut sebagai penangkal atau dapat menetralkan efek samping tersebut, yang dikenal dengan SEES (Side Effect Eleminating Subtanted). Zat aktif pada tanaman obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder, sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi adakalanya saling mendukung, namun ada kalanya saling kontradiktif. Sebagai contoh di dalam kunyit terdapat senyawa yang merugikan tubuh, tetapi di dalam kunyit itu juga ada zat anti untuk menekan dampak negatif tersebut. Pada perasan air tebu terdapat senyawa Saccharant yang ternyata berfungsi sebagai antidiabetes, maka untuk penderita diabet (kencing manis) bisa mengkonsumsi air perasan tebu, tetapi dilarang minum gula walaupun gula merupakan hasil pemurnian dari tebu. Kencur (Kaempferia galangga) bermanfaat untuk melancarkan haid, tetapi digunakan untuk ramuan jamu pada ibu hamil muda.

Kenyataan tersebut di satu sisi merupakan keunggulan dari obat tradisional tapi disisi lain merupakan bumerang karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima pada pengobatan modern. Kendala lain dalam pengembangan obat tradisional adalah efek farmakologisnya yang lemah, belum terstandarnya bahan baku dan bersifat higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis organisme. Pertimbangan sisi keamanan harus betul-betul diperhatikan, terlebih jika dikonsumsi oleh wanita hamil, karena penggunaan obat sebagai salah satu faktor ekstrauterine yang menyebabkan mortalitas maupun morbiditas pada janin harus betul-betul aman.

Kebiasaan pemakaian obat secara sembarangan dan perilaku ibu selama hamil dapat merupakan faktor risiko meningkatnya cacat bawaan pada populasi. Umumnya obat-obat yang digunakan wanita hamil dapat melintasi plasenta serta memberikan pemaparan pada embrio dan janin yang tumbuh terhadap efek farmakologik dan teratogeniknya. Pemakaian obat selama kehamilan selalu disertai risiko terjadinya pengaruh buruk, baik terhadap janin, ibu maupun proses kehamilannya. Besar kecilnya risiko sangat beragam tergantung pada jenis obat, cara pemakaian maupun berbagai karakteristik biologik individual.

Dari hasil penelitian terhadap 416 ibu bersalin di Bekasi pada tahun 2008 didapatkan bahwa ibu yang selama hamil mengkonsumsi jamu mempunyai risiko odds 7 kali untuk melahirkan bayi asfiksia dibandingkan dengan ibu yang tidak mengkonsumsi jamu selama hamilnya. Adapun jamu yang banyak dikonsumsi oleh wanita hamil adalah jamu gendong. Salah satu kelemahan dari jamu gendong ini adalah tidak terstandarnya bahan baku dan mudah tercemar dengan berbagai mikroorganisme. Hal ini mengingat dalam minum jamu tidak ada aturan yang pas baik mengenai takaran ataupun lamanya, kekentalan jamu itu sendiri sangat bervariasi sesuai pengalaman masing-masing penjual jamu, karena mereka membuat hanya berdasarkan perkiraan dan masukan dari pelanggannya, khususnya kunir asam yang biasa dikonsumsi oleh wanita hamil. Beberapa penjual jamu juga menuturkan bahwa tidak ada aturan khusus untuk membuat jamu yang biasa dikonsumsi oleh wanita hamil, bahkan jika jamu yang dijajakannya tidak habis maka sisanya bisa direbus kembali dan dijajakan esok hari. 

Wanita hamil juga sebaiknya menghindari minum jamu cabe puyang yang mengandung cabe jawa (piper retrofractum vahl) secara terus menerus, karena memiliki efek menghambat kontraksi otot pada saat persalinan. Cabe jawa mengandung alkaloid piperin yang berefek menghambat kontraksi otot, sehingga akan menyulitkan persalinan.

Selain jamu cabe puyang jamu yang sebaiknya dihindari adalah jamu kunir asam dan temulawak. Jumlah kunyit (curcuma domestica val) yang dominan dalam ramuan kunir asem yang kental perlu diperhatikan waktu penggunaannya, karena ekstrak kunyit memiliki efek stimulan pada kontraksi uterus dan berefek abortivum. Satu hal yang menjadi perhatian medis adalah kemungkinan mengendapnya material jamu pada air ketuban. Air ketuban yang tercampur dengan residu jamu membuat air ketuban menjadi keruh dan tentu saja mengganggu saluran nafas janin. Namun pandangan ini  perlu dibuktikan dengan penelitian yang intensif antara dosis dan lamanya mengkonsumsi jamu tersebut. Temulawak yang merupakan bahan campuran untuk jamu wanita hamil juga dapat menyebabkan kontraksi uterus. Oleh karena itu wanita hamil dianjurkan untuk  berhati-hati karena dosis yang pasti belum jelas.

Terhadap obat tradisional khususnya jamu, pemerintah belum mengeluarkan persyaratan yang baku. Namun dalam pembinaan jamu, pemerintah telah mengeluarkan beberapa petunjuk yakni, 1) kadar air tidak lebih dari 10%, hal ini untuk mencegah berkembang biaknya bakteri, kapang dan khamir (ragi). 2) Jumlah kapang dan khamir tidak lebih dari 10.000. 3) Jumlah bakteri non patogen tidak lebih dari 1 juta. 4) bebas dari bakteri patogen seperti salmonella. 5) Jamu yang berbentuk pil atau tablet, daya hancur tidak lebih dari 15 menit. Toleransi sampai 45 menit. Dan yang terakhir 6) tidak boleh tercemar atau diselundupi bahan kimia berkhasiat.
Oleh karena itu perlu adanya standarisasi penggunaan jamu untuk wanita hamil, mengingat animo masyarakat yang cukup besar dalam pemanfaatan jamu khususnya yang biasa dikonsumsi oleh wanita hamil, selain itu wanita hamil juga diharapkan lebih memperhatikan perilaku sehatnya dan memperhatikan makanan ataupun minuman yang sebaiknya dikonsumsi karena dapat mempengaruhi kondisi janin dalam kandungan.

segerahamil.blogspot.com ; dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar